Follow Me:
SPP UNY Batal Naik

YOGYAKARTA – Tekanan mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) kepada rektorat agar membatalkan rencana kenaikan SPP bagi mahasiswa baru membuahkan hasil. Rektorat berjanji tidak akan menaikkan SPP mahasiswa baru. Pada 22 Maret lalu, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNY menggelar aksi menolak rencana kenaikan SPP bagi mahasiswa baru.

 "Kami sudah putuskan untuk SPP mahasiswa baru tidak akan naik," kata Rektor UNY Rochmat Wahab di sela-sela peresmian Gedung Lembaga Pengembangan Dan Penjamin Mutu Pendidikan (LPPM) UNY kemarin.

Sejak awal UNY sudah berkomitmen tidak akan menaikkan SPP. Namun karena beban operasional untuk kepentingan mahasiswa maupun kampus terus meningkat tapi biayanya tidak ada tambahan, maka ada wacana mahasiswa baru ditarik biaya operasional pendidikan (BOP) Rp300 ribu bagi mahasiswa reguler dan Rp655 untuk mahasiswa nonreguler.

 "Jadi tambahan biaya itu bukan adanya kenaikan SPP, melainkan untuk mendukung BOP," ungkapnya.

 Untuk BOP, apakah tetap akan diterapkan atau tidak bagi mahasiswa baru masih menunggu keputusan dari pusat. Pemerintah sudah menjanjikan akan membantu BOP tersebut.

 "BOP selain untuk menunjang operasional kampus, juga mendukung kegiatan mahasiswa seperti penelitian dan kegiatan akademik lainnya. Jadi, pada dasarnya BOP juga untuk kepentingan mahasiswa, bukan kampus," kata Rochmat Wahab. Selama ini untuk menunjang operasional, UNY mengandalkan pemasukan dari usaha yang dikembangkan. Di antaranya dari hotel, pendirian pusat training, gelanggang olahraga (GOR) dan kolam renang, serta pengembangan usaha lainnya.

 "Meskipun belum mencukupi, usaha itu sudah dapat membantu untuk operasional kampus," paparnya.

 Menanggapi jawaban Rochmat Wahab, Ketua BEM UNY Zamzan Adnan mengatakan sampai kemarin rektorat belum mengajak dialog mereka. "Kami tetap meminta kampus untuk transparan dalam penggunaan BOP," tandasnya. (priyo setyawan/koran si)(//rfa)

pengen secara lengkap lihat beritanya klik disini http://kampus.okezone.com/read/2012/03/28/373/600896/spp-uny-batal-naik.

ulang tahun UKMF Musik CAMP KE -9


UKMF Musik CAMP merayakan hari jadinya yang ke -9 di Halaman Gedung PKM Ormawa FIP UNY. Acara ini berlangsung pada hari kamis,22 maret 2012 pukul 16.00 sore. Acara di buka dengan sambutan dari ketua panitia, sambutan yang kedua dari keteua UKMF Musik CAMP sera sambutan terakhir di berikan oleh Dr Suwarjo.M,si sebagai wakil dekan III serta bertanda acara pembukaan telah di mulai.


kemudian acara berlangsung dengan pembacaan puisi serta band pembuka. Acara break sejenak untuk melakukan sholat,setelah lima belas menit kemudian acara di lanjutkan dan penampilan beberapa band, dan acara di mana yang di tunggu-tunggu yaitu acara inti, acara inti ini meliputi peniupan lilin,pemotongan tumpeng, harapan-harapan CAMP ke depanya yang di wakili oleh dari empat angkatan sebelumnya yaitu angkatan di wakili oleh mas sigit,mas faiz,mas heri serta mutia sebagai pengurus baru. kemudian setelah itu acara di lanjutkan dengan makan bersama serta pemutaran film dokumter.


Acara berlangsung sangat meriah.acara ini di meriahkan oleh bebrap band dari camp maupun dari band yang kami undangan, nama bend tersebut dalah the denis membawakan tiga buah ,lentera membawakan tiga buah lagu, opsi lain,benci untuk mencinta dari naif,terlalu manis dari slank yang di bawakan oleh dolpino ,tanah airku di bawakan oleh majesty,maesetoso dan serta lagu tetap tersenyum di bawakan haven's note.


acara berlangsung lancar dan di acara terakhir penampilan dari alumni UKMF Musik CAMP dengan membawakan tiga buah di antara lagu tersebut ialah ada yang hilang dari ipank dan akhirnya acarapun selesai dan berakhir

ungkapan

sekarang aq bingung ma ngapain..aq kangen masa"sama din kanget banget..,aq merasa sepi,bimbang,kesendirian, dan rasa kehilangan..sulit bagiku tuk melupakan semua kenagan itu...serandainya ja kamu msh ada di sampingku...mungkin aq tak bengini larut dalam kesedihan dan kehampaan..tp aq msh sayang ma kamu....dan msh tebayang"oleh wajahmu dan kenangan tu..........huuuuuuuuuuuuuft bgini kah jalanku.....dan akhir cintaku....sulit semua bagiku..... oleh susantho

lyrik satu cinta


Intro : G C G C 2X
 * Satu cinta
 Dalam diriku membuat dirimu
 Ingin tahu
 Betapa besar Pesona cinta

 Ingin ku menjadi
 Bagian dari Jiwamu
 Dalam mimpiku...
 Dalam bayangmu.....
 Back to * Reff
 Buka hatimu Agarku bisa bersamamu
 Dalam diriku Relung hatiku
 Hanya padamu
 Ku Ungkapkan rasa cintaku Hanya untukmu

Intro : GCAm D 2X
BACK TO REFF

 by song lirik susant

TEORI KEADILAN SOSIAL



A.   Pengertian Keadilan Sosial

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, keadilan mempunyai arti sifat ( perbuatan, perlakuan dsb ) yang tidak berat sebelah ( tidak memihak ). Sedangkan sosial berarti segala sesuatu yang mengenai masyarakat, kemasyarakatan atau perkumpulan yang bersifat dan bertujuan kemasyarakatan (bukan dagang atau politik). “Keadilan sosial” pada dasarnya tidak lain daripada keadilan.Terlihat tiga macam keadilan yaitu :




·         Keadilan legalis

Keadilan legalis artinya keadilan yang arahnya dari pribadi ke seluruh masyarakat. Manusia pribadi wajib memperlakukan perserikatan manusia sebagai keseluruhan sebagai anggota yang sama martabatnya. Manusia itu sana dihadapan hukum, tidak ubahnya dengan anggota masyarakat yang lain. Contoh : warga egara taat membayar pajak, mematuhi peraturan berlalu lintas di jalan raya. Jadi, setiap warga negara dituntut untuk patuh pada hukum yang berlaku.

·         Keadilan distributive

Keadilan distributive adala keseluruhan masyarakat wajib memperlakukan manusia pribadi sebagai manusia yang sama martabatnya. Dengan kata lain, apabila ada satu hukum yang berlaku maka hukum itu berlaku sama bagi semua warga masyarakat. Pemerintah sebagai representasi negara wajib memberikan pelayanan dan mendistribusikan seluruh kekayaan negara (asas pemerataan) dan memberi kesempatan yang sama kepada warga negara untuk dapat mengakses fasilitas yang disediakan oleh negara (tidak diskriminatif). Contoh : tersedianya fasilitas pendidikan untuk rakyat, jalan raya untuk transportasi umum termasuk untuk penyandang cacat dan lanjut usia.

·         Keadilan komutatif

Hal ini khusus antara manusia pribadi yang satu dengan yang lain. Artinya tak lain warga masyarakat wajib memperlakukan warga lain sebagai pribadi yang sama martabatnya. Ukuran pemberian haknya berdasar prestasi. Orang yang punya prestasi yang sama diberi hak yang sama. Jadi sesuatu yang dapat dicapai oleh seseorang arus dipandang sebagai miliknya dan kita berikan secara proposional sebagaimana adanya. Contoh : saling hormat-menghormati antar-sesama manusia toleransi dalam pendapat dan keyakinan, salin bekerja sama.

B.     Keadilan Sosial

Negara pancasila adalah negara kebangsaan yang berkeadilan sosial, yang berarti bahwa negara sebagai penjelmaan manusia sebagai Makhluk Tuhan yang Maha Esa, sifat kodrat individu dan makhluk sosial bertujuan untuk mewujudkan suatu keadilan dalam hidup bersama (Keadilan Sosial). Keadilan sosial tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan manusia sebagai makhluk yang beradab (sila II). Manusia pada hakikatnya adalah adil dan beradab, yang berarti manusia harus adil terhadap diri sendiri, adil terhadap Tuhannya, adil terhadap orang lain dan masyarakat serta adil terhadap lingkungan alamnya.

Dalam hidup bersama baik dalam masyarakat, bangsa dan negara harus terwujud suatu keadilan (Keadilan Sosial), yang meliputi tiga hal yaitu : keadilan distributif (keadilan membagi), yaitu negara terhadap warganya, kedilan legal (keadilan bertaat), yaitu warga terhadap negaranya untuk mentaati peraturan perundangan, dan keadilan komutatif (keadilan antarsesama warga negara), yaitu hubungan keadilan antara warga satu dengan lainnya secara timbal balik (Notonagoro, 1975).

Sebagai suatu negara berkeadilan sosial maka negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila sebagai suatu negara kebangsaan, bertujuan untuk melindungi segenap warganya dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan warganya (tujuan khusus). Adapun tujuan dalam pergaulan antar bangsa di masyarakat internasional bertujuan : “.....ikut menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam pengertian ini maka negara Indonesia sebagai negara kebangsaan adalah berdasar keadilan sosial dalam melindungi dan mensejahterakan warganya,demikian pula dalam pergaulan masyarakat internasional berprinsip dasar pada kemerdekan serta keadilan dalam hidup masyarakat.

Realisasi dan perlidungan keadilan dalam hidup bersama daam suatu negara kebangsaan, mengharuskan negara untuk menciptakan suatu peraturan perundang-undangan. Dalam pengertian inilah maka negara kebangsaan yang berkeadilan sosial harus merupakan suatu negara yang berdasarkan atas hukum. Sehingga sebagai suatu negara hukum harus terpenuhi adanya tiga syarat pokok yaitu ; pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia, peradilan yang bebas, dan legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya. Konsekuensinya sebagai suatu negara hukum yang berkeadilan sosial maka negara Indonesia harus mengkui dan melindungi hak-hak asasi manusia, yang tercantum dalam Undang-Undag dasar 1945 Pasal 27 ayat (1) dan (2),Pasal 28, Pasal 29 ayat (2), Pasal 31 ayat (1). Demikianlah sebagai suatu negara yang berkeadilan maka negara berkewajiban melindugi hak-hak asasi warganya, sebaliknya warga negara berkewajiban mentaati peraturan perundang-undangan sebagai manifestasi keadilan legal dalam hidup bersama.

Keadilan sosial berwujud hendak melaksanakan kesejahteraan umum dalam masyarakat bagi segala warga negara dan penduduk. Keadilan sosial di bidang kemasyarakatan menjadi suatu segi dari perikeadilan yang bersama-sama dengan perikemanusiaan ditentang dan dilanggar oleh penjajah yang harus dilenyapkan, seperti dirumuskan dalam Pembukaan alinea I. Demokrasi politik berhubungan dengan keadilan sosial memberi hak yang sama kepada segala warga dalam hukum dan susunan masyarakat negara, seperti dirumuskan dalam pasal 27 dan 31
·         Persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan,
·         Kewajiban menjunjung hukum dan pemerintahan,
·         Hak yang sama atas pekerjaan dan penghidupan yang layak,
·         Mendapat pengajaran

Keadilan politik dan keadilan ekonomi ialah isi yang menjadi terasnya keadilan sosial yang mengindahkan perkembangan masyarakat dengan jaminan, supaya kesejahteran umum terlaksana. Keadilan sosial memberi perimbangan kepada kedudukan perseorangan dalam masyarakat dan negara. Dengan adanya keadilan sebagai sila kelima dari dasar filsafat negara kita, maka berarti bahwa di dalam negara, makmur dan “kesejahteraan umum” itu harus terjelma keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Keadilan sosial menurut Pembukaan UUD dimaksudkan tidak hanya bagi rakyat Indonesia sendiri, akan tetapi juga bagi seluruh umat manusia. Keadilan sosial dapat dikembalikan pula kepada sifat kodrat manusia monodualis, sehingga keadilan sosial adalah sesuai pula dengan sifat hakekat negara kita sebagai negara monodualis, bahwa di dalam keadilan sosial itu terkandung pula kesatuan yang statis tak berubah dari kepentingan perseorangan atau kepentingan khusus dan kepentingan umum dalam keseimbangan yang dinamis, yang mana di antara dua macam kepentingan itu yang harus diutamakan tergantung dari keadaan dan zaman, kalau buat keadaan dan zaman kita sekarang kepentigan umumlah yang diutamakan.

Dengan demikian, lapangan tugas bekerjanya negara adalah hal memelihara (keadilan sosial) dapat dibedakan demikian :
·         Memelihara kepentingan umum, yang khusus mengenai kepentingan negara sendiri sebagai negara
·         Memelihara kepentingan umum dalam arti kepentingan bersama daripada para warga negara, yang tidak dapat dilakukan oleh para warga negara sendiri
·         Memelihara kepentingan bersama dari warga negara perseorangan yang tidak seluruhnya dapat dilakukan oleh warga negara sendiri, dalam bentuk bantuan dari negara
·         Memelihara kepentingan dari warga negara perseorangan, yang tidak seluruhnya dapat diselenggarakan oleh warga negara sendiri, dalam bentuk bantuan dari negara, ada kalanya negara memelihara seluruhnya kepentingan perseorangan (fakir miskin, anak terkantar)
·         Tidak semua bangsa Indonesia dalam keseluruhannya harus dilindungi, juga suku bangsa, golongan warga negara, keluarga, warga negara perseorangan
·         Tidak cukup ada kesejahteraan dan ketinggian martabat kehidupan umum bagi seluruh bangsa, juga harus ada kesejahteraan dan martabat kehidupan tinggi bagi suku bangsa, setiap golongan warga negara, setiap keluarga, setiap warga negara perseorangan.pemeliharaannya, baik diselenggarakan oleh negara maupun oleh perseorangan sendiri, tidak dengan atau dengan bantuan negara.

Realisasi dari prinsip keadilan sosial tidak lain adalah dengan jalan pembangunan yang benar-benar dapat dilaksanakan dan berguna serta dinikmati oleh seluruh lapisan rakyat. Selain itu dalam realisasinya Pembangunan Nasional merupakan suatu upaya untuk mecapai tujuan negara, sehingga Pembangunan Nasional harus senantiasa meletakkan asas keadilan sebagai dasar operasional serta dalam penentuan berbagai macam kebijaksanaan dalam pemerintahan negara.
 Karena itu sangat terang bahwa kita harus meniadakan segala bentuk kepincangan sosial dan kepincangan pembagian kekayaan nasional kita. Kepincangan-kepincangan demikian bukan saja tidak menjamin terwujudnya keadilan sosial, malahan merupakan penghambat dari kesetiakawanan yang menjadi kekuatan penting dalam usaha kita untuk sama-sama memikul beban pembangunan.
Untuk itu dikembangkan sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain.

oleh dewi khayati dkk..

Teori Psikososial Erik H Erikson



Disusun oleh:
Triana Purnami dkk



Teori Psikososial tentang Perkembangan
Seperti telah dikemukakan, perkembangan berlangsung melalui tahap-tahap, seluruhnya ada delapan tahap menurut jadwal yang dikemukakan Erikson. Empat tahap yang  pertama terjadi pada masa bayi dan masa kanak-kanak, tahap kelima pada masa adolesen, dan ketiga tahap yang terakhir pada tahun-tahun dewasa dan usia tua. Dalam tulisan-tulisan Erikson, tekanan khusus diletakkan pada masa adolesen karena pada masa tersebut merupakan peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Apa yang terjadi pada tahap ini sangat penting bagi kepribadian dewasa. Identitas, krisis-krisis identitas, dan kekacauan identitas merupakan konsep-konsep Erikson yang sangat terkenal
Harus dicatat bahwa tahap-tahap yang berurutan itu tidak ditetapkan menurut suatu jadwal kronologis yang tepat. Erikson berpendapat bahwa tiap anak memiliki jadwal waktunya sendiri, karena itu akan menyesatkan kalau ditentukan lama berlangsungnya secara eksak masing-masing untuk setiap tahap. Lagi pula, setiap tahap tidak dilewati dan kemudian ditinggalkan. Sebaliknya masing-masing tahap ikut serta dalam membentuk seluruh kepribadian.
Tahap Identitas vs Kekacauan Identitas
Selama masa adolesen, individu mulai merasakan suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, perasaan bahwa ia adalah manusia unik, namun siap untuk memasuki suatu peranan yang berarti di tengah masyarakat, entah peranan ini bersifat menyesuaikan diri atau bersifat memperbaaharui. Sang pribadi mulai menyadari sifat-sifat yang melekat pada dirinya sendiri, seperti aneka kesukaan dan ketidaksukaannya, tujuan-tujuan yang dikejarnya di masa depan, kekuatan dan hasrat untuk mengontrol nasibnya sendiri. Inilah masa dalam kehidupan ketika orang ini menentukan siapakah ia pada saat sekarang dan ingin menjadi apakah ia dimasa yang akan datang. Inilah masa untuk menbuat rencana-rencana karier.
Daya penggerak batin dalam rangka pembentukan identitas ialah ego, ego dalam aspek-aspeknya yang sadar maupun tak sadar. Pada tahap ini ego memiliki kapasitas untuk memilih dan mengintegrasikan bakat-bakat, kemampuan kemampuan, dan keterampilan- keterampilan dalam melakukan identifikasi dengan orang-orang yang sependapat, dan dalam melakukan adaptasi dengan lingkungan sosial, serta menjaga pertahanan-pertahanannya terhadap berbagai ancaman dan kecemasan, karena ia telah mampu  memutuskan impuls-impuls, kebutuhan-kebutuhan, dan peranan-peranan manakah yang paling cocok dan efektif. Semua ciri yang dipilih oleh ego ini dihimpun dan diintegrasikan oleh ego serta membentuk identitas psikososial seseorang.
Karena peralihan yang sulit dari masa kanak-kanak ke masa dewasa di satu pihak dan karena kepekaan terhadap perubahan sosial dan historis di lain pihak, maka selama tahap pembentukan identitas seorang remaja, mungkin merasakan penderitaan paling dalam dibandingkan pada masa-masa lain akibat kekacauan peranan peranan atau kekacauan identitas. Keadaan ini dapat menyebabkan orang merasa terisolasi, hampa, cemas, dan bimbang. Remaja merasa bahwa ia harus membuat keputusan-keputusan penting tetapi belum sangguap melakukannya. Para remaja mungkin merasa bahwa mayarakat memaksa mereka untuk membuat keputusan-keputusan sehingga mereka justru menjadi semakin menentang. Mereka sangat peka terhadap cara orang lain memandang mereka, dan menjadi mudah tersinggung dan merasa malu.
Selama kekacauan identitas, remaja mungkin merasa bahwa ia mundur bukannya maju, dan pada kenyataannya, suatu kemunduran periodis ke sifat kanak-kanak kiranya merupakan suatu alternatif menyenangkan terhadap keterlibatan kompleks dalam masyarakat orang dewasa yang dituntut darinya. Tngkah laku remaja tidak konsisten dan tidak dapat diprediksikan selama masa kacau ini. Pada suatu saat ia menutup diri terhadap siapapun karena takut ditolak, dikecewakan, atau disesatkan. Pada saat berikutnya ia mungkin ingin menjadi pengikut, pencinta, atau murid dengan tidak menghilangkan konsekuensi-konsekuensi dengan komitmennya itu.
Istilah krisis identitas menunjuk pada perilakunya mengatasi kegagalan yang bersifat sementara itu untuk selanjutnya membentuk suatu identitas yang stabil, atau sebaliknya suatu kekacauan peranan. Masing-masing tahap yang berturut-turut itu pada kenyataanya, merupakan suatu potensi krisis yang disebabkan karena terjadinya perubahan yang radikal dalam perspektif. Akan tetapi, agaknya secara istimewa krisis identitas adalah berbahaya karena seluruh masa depan individu generasi berikutnya sepertinya tergantung pada penyelesaian krisis ini.
Yang juga sangat menggangu adalah perkembangannya identitas negatif, yakni perasaan memiliki sekumpulan sifat yang secara potensial buruk atau tidak berharga. Cara yang sangat lazim dipakai orang untuk mengatasi identitas negatif ialah memproyeksikan sifat-sifat yang buruk itu kepada orang lain. “Mereka lah yang buruk, bukan saya”. Proyeksi serupa itu banyak mengakibatkan patologi sosial termasuk prasangka dan kejahatan serta diskriminasi terhadap berbagai kelompok orang, tetapi proyeksi juga merupakan suatu bagian penting dari kesiapan remaja untuk melibatkan diri dalam suatu ideologi. Pada masa remaja ini nilai kesetiaan berkembang kendati ia kini secara seksual matang dan banyak hal bertanggung jawab, namun remaja belum cukup siap untuk menjaga orang tua, keseimbangan ego dihadapkan pada situasi yang serba sulit di satu pihak remaja diharapkan mengasimilasikan diri kedalam pola hidup orang dewasa tetapi di lain pihak remaja belum memiliki kebebasan seksual seperti orang dewasa. Tingkah laku remaja menjadi berkisar secara silih berganti antara tindakan-tindakan impulsif, kurang pertimbangan, sporadik, dan tindakan-tindakan yang dikendalikan secara kompulsif. Akan tetapi, selama masa yang sulit ini remaja mendambakan pengetahuan batin dan pemahaman tentang dirinya sendiri serta berusaha merumuskan sekumpulan nilai-nilai. Rangkaian nilai-nilai khusus yang muncul ialah apa yang oleh Erikson disebut kesetiaan. ”Kesetiaan adalah kemampuan untuk mempertahankan loyalitas yang diikrarkan dengan bebas meskipun terdapat kontradiksi-kontradiksi yang terletak diantara sistem-sistem nilai” (1964, hal 125).
Kesetiaan adalah pondasi atas dasar mana terbentuk suatu perasaan identitas yang bersifat kontinyu. Substansi kesetiaan diperoleh melalui “konfirmasi” oleh ideologi-ideologi dan kebenaran-kebenaran, dan juga melalui afirmasi dari kawan-kawan. Perkembangan identitas berpangkal pada kebutuhan inheren manusia untuk merasa bahwa dirinya tergolong pada jenis orang-orang tertentu atau “khusus”. Misalnya, remaja perlu mengetahui bahwa ia tergolong pada suatu kelompok etnik atau kelompok agama khusus dimana ia dapat berpartisipasi dalam adat-istiadat, ritual-ritual atau ideologi-ideologinya, atau bahwa ia lebih suka berpartisipasi dalam gerakan-gerakan yang bertujuan untuk mengubah atau memperbaharui struktur sosial. Identitas anak remaja menentukan batasan lingkungannya.
Ritualisasi yang menyertai tahap adolesen ialah ritualisasi ideologi. Ideologi merupakan solidaritas keyakinan yang menginkorporasikan ritualisasi-ritualisasi dari tahap-tahap sebelumnya menjadi sekumpulan ide dan cita-cita yang saling berkaitan. Keterasingan yang disebabkan karena tidak dimilikinya suatu ideologi yang terintegrasi adalah kekacauan identitas.
Penyimpangan ritualisasi ideologi yang mungkin terjadi adalah totalisme. Totalisme ialah preokupasi fanatik dan eksklusif dengan apa yang kelihatannya sungguh-sungguh benar atau ideal.

Keintiman vs Isolasi
            Dalam tahap ini orang-orang dewasa awal siap dan ingin menyatukan identitasnya dengan orang lain. Mereka mendambakan hubungan-hubungan yang intim, akrab, dan persaudaraan, serta siap mengembangkan daya-daya yang dibutuhkan untuk memenuhi komitmen-komitmen ini meskipun mereka mungkin harus berkorban. Sekarang untuk pertama kalinya dalam kehidupan mereka, anak-anak muda itu dapat mengembangkan genitalitas seksual yang sesungguhnya dalam hubungan timbal balik dengan mitra yang dicintai. Kehidupan seks dalam tahap-tahap sebelumnya terbatas pada menemukan identitas seksual dan berjuang menjalin hubungan-hubungan akrab yang bersifat sementara. Agar memiliki arti sosial yang bersifat menetap maka genitalitas membutuhkan seseorang untuk dicintai dan diajak mengadakan hubungan-hubungan seksual, dan dengan siapa seseorang dapat berbagi rasa dalam suatu hubungan kepercayaan. Bahaya pada tahap keintiman ini adalah isolasi, yakni kecenderungan menghindari hubungan karena orang tidak mau melibatkan diri dalam keintiman. Suatu perasaan isolasi yang bersifat sementara memang membutuhkan pilihan-pilihan, tetapi tentu saja juga dapat menimbulkan masalah-masalah kepribadian berat.
            Nilai cinta muncul selama tahap perkembangan keintiman. Nilai dominan yang bersifat universal ini, yakni cinta, muncul dalam bentuk selama tahap-tahap sebelumnya, mulai dengan cita bayi terhadap ibunya, kemudian cinta birahi pada remaja, dan akhirnya cinta yang diungkapkan dalam bentuk kepedulian terhadap orang-orang lain pada orang dewasa. Meskipun cinta sudah nampak dalam tahap-tahap sebelumnya, namun perkembangan keintiman yang sejati hanya muncul setelah menginjak usia remaja. Orang-orang dewasa awal kini mampu melibatkan diri dalam hubungan bersama dimana mereka saling berbagi hidup dengan seorang mitra yang intim. Erikson menulis, “maka, cinta adalah pengabdian timbal balik yang mengalahkan antagonisme-antagonisme yang melekat dalam fungsi yang terpecah” (1964, hal. 129). Meskipun identitas individual seseorang dipertahankan dalam suatu hubungan keintiman bersama, namun kekuatan egonya tergantung pada kesiapan mitranya untuk berbagi peran dalam membesarkan anak-anak, berbagi produktivitas, dan berbagi pandangan tentang hubungan mereka.
            Ritualisasi pada tahap ini ialah afiliatif, yakni berbagi bersama dalam pekerjaan, persahabatan, dan cinta. Ritualismenya, yakni elitisme, terungkapkan lewat pembentukan kelompok-kelompok eksklusif yang merupakan suatu bentuk narsisme komunal.
Generativitas vs Stagnasi
            Ciri tahap generativitas adalah perhatian terhadap apa yang dihasilkan keturunan, produk-produk, ide-ide, dsb serta pembentukan dan penetapan garis-garis pedoman untuk generasai-generasi mendatang. Transmisi nilai-nilai sosial ini diperlukan untuk memperkaya aspek psikoseksual dan aspek psikososial kepribadian. Apabila generativitas lemah atau tidak diungkapkan maka kepribadian akan mundur, dan mengalami kemiskinan serta stagnasi.
            Nilai pemeliharaan berkembang dalam tahap ini. Pemeliharaan terungkap dalam kepedulian seseorang kepada orang lain, dalam keinginan memberikan perhatian pada mereka yang membutuhkannya serta berbagi dan membagi pengetahuan dan pengalaman dengan mereka. Ini tercapai lewat kegiatan membesarkan anak dan mengajar, memberi contoh, dan mengawasi. Manusia sebagai suatu spesies memiliki kebutuhan inheren untuk mengajar, suatu kebutuhan yang dimiliki oleh semua orang dalam setiap bidang pekerjaan. Manusia mencapai kepuasan dan pemenuhan dengan mengajar anak-anak, orang-orang dewasa, bawahan-bawahan, bahkan binatang-binatang. Fakta-fakta, logika, dan kebenaran-kebenaran terpelihara dari generasi ke generasi berkat semangat mengajar ini. Aktivitas memelihara dan mengajar menjamin kelangsungan hidup kebudayaan, lewat pengulangan atas adat istiadat, ritual-ritual, dan legenda-legendanya. Kemajuan setiap kebudayaan ada di tangan orang-orang yang memiliki cukup kerelaan untuk mengajar dan menjalani kehidupan yang patut dicontoh. Aktivitas mengajar juga menumbuhkan dalam diri manusia suatu perasaan vital bahwa mereka dibutuhkan oleh orang lain, suatu perasaan bahwa diri mereka berarti, yang membuat mereka tidak terlalu asyik dan terbenam dalam diri mereka sendiri. Selama masa kehidupan seseorang banyak pengalaman dan pengetahuan berhasil dikumpulkan, seperti pendidikan, cinta, pekerjaan, filsafat, dan gaya hidup. Semua aspek kehidupan ini harus dipelihara dan dilindungi, sebab semua itu merupakan pengalaman-pengalaman yang berharga. Pengalaman-pengalam ini dipelihara dengan cara diteruskan dan diberikan kepada orang lain.
            “Pemeliharaan adalah kepedulian yang semakin luas terhadap apa yang telah dihasilkan oleh cinta, karena dipandang perlu, atau semata-mata karena kebetulan; pemeliharaan mengatasi ambivalensi yang melekat pada rasa berkewajiban yang tak dapat diubah. (1964, hal. 131).”
            Ritualisasi dari tahap ini ialah sesuatu yang generasional, yakni ritualisasi peranan orang tua, produksi, pengajaran, penyembuhan dst, peranan-peranan dengan mana orang dewasa bertindak sebagai penerus nilai-nilai ideal pada kaum muda.
            Penyimpangan-penyimpangan dari ritualisasi generasional tercermin dalam ritualisme autoritisme. Autoritisme adalah pencaplokan atau perongrongan kekuasaan yang bertentangan dengan pemeliharaan.
Integritas vs Keputusasaan
            Tahap terakhir dalam proses epigenetis perkembangan disebut integritas. Integritas paling tepat dilukiskan sebagai suatu keadaan yang dicapai seseorang setelah memelihara benda-benda dan orang-orang, produk-produk, dan ide-ide, dan setelah berhasil menyesuaikan diri dengan keberhasilan dan kegagalan dalam hidup. Lewat prestasi-prestasi semacam itu individu dapat menikmati keuntungan dari ketujuh tahap kehidupan yang pertama, dan merasa bahwa kehidupan mereka memiliki sejenis susunan dan makna dalam suatu susunan yang lebih besar. Meskipun orang yang telah mencapai suatu keadaan integritas menyadari berbagai gaya hidup orang lain, namun dengan bangga ia memelihara gaya hidupnya sendiri dan mempertahankannya dari berbagai potensi ancaman. Dengan demikian gaya hidup dan integritas kebudayaan menjadi  “warisan jiwa”.
            Lawan integritas adalah keputusasaan tertentu menghadapi perubahan siklus kehidupan individu terhadap kondisi sosial dan historis, belum lagi kefanaan hidup dihadapan kematian. Ini dapat memperburuk perasaan bahwa kehidupan ini tak berarti, bahwa ajal sudah dekat- ketakutan akan dan bahkan keinginan untuk mati. Sekarang waktunya sudah terlalu singkat untuk berbalik dan mencoba gaya hidup yang lain.
            Kebijaksanaan adalah nilai yang berkembang dari hasil pertemuan antara integritas dan keputusasaan dalam tahap kehidupan yang terakhir ini. Kegiatan fisik dan mental dalam kehidupan sehari-hari menjadi lamban pada tahap terakhir dalam siklus kehidupan ini. Kebijaksanaan yang sederhana menjaga dan memberikan integritas pada pengalaman-pengalaman yang terkumpul dari tahun-tahun silam. “Maka, kebijaksanaan merupakan keprihatinan objektif terhadap kehidupan itu sendiri, dihadapan kematian itu sendiri.” (1964, hal. 133).
            Bahwa orang-orang yang sudah uzur kurang mampu beradaptasi dengan situasi yang berubah tidak menghalangi sejenis kejenakaan dan keingintahuan tertentu yang memungkinkan pembulatan pengalaman, sebagaimana diperoleh dari pengetahuan dan penilaian selama bertahun-tahun. Mereka yang berada pada tahap kebijaksanaan dapat menyajikan kepada generasi yang lebih muda suatu gaya hidup yang bercirikan suatu perasaan tentang keutuhan dan keparipurnaan. Perasaan tentang keutuhan ini dapat meniadakan perasaan putus asa dan muak, serta perasaan selesai atau habis manakala situasi kehidupan ini berlalu. Perasaan tentang keutuhan juga akan mengurangi perasaan tak berdaya dan ketergantungan yang biasa menandai akhir kehidupan.
            Ritualisasi usia lanjut dapat disebut integral; ini tercermin dalam kebijaksanaan dalam segala zaman. Sebagai ritualisme yang padanannya, Erikson mengusulkan sapientisme: “kedunguan dengan berpura-pura bijaksana”
Haruskah setiap orang melewati semua pentahapan ini?
Kadang kita mendengar bahwa jika tidak mencapai ukuran keberhasilan salah satu pentahapan Erikson, kita tidak bisa beranjak ke tahap berikutnya. Ini keliru. Di dalam teori Erikson, jika hidupnya cukup lama, orang harus melewati semua tahapan ini. Alasannya adalah kekuatan yang mendorong kita melangkah maju dari tahap ke tahap sangat besar untuk bisa ditahan: pendewasaan biologis dan ekspektasi sosial. Kekuatan ini terus mendorong kita berjalan menurut jumlah waktu tertentu, tak peduli kita sudah berhasil di tahap sebelumnya atau tidak.
            Jadi apabila seorang anak laki-laki belum tuntas menguasai seluruh ras kegigihan di tahap industri (tahap keempat), maka ketika usianya genap mencapai masa pubertas (tahap kelima), dia tetap harus bergulat dengan masalah identitas di tahap baru ini meskipun belum siap menghadapinya.perubahan-perubahan biologis membuat dia menemukan dirinya bermasalah dengan perasaan-perasaan seksual yang mencuat dari perubahan tubuh yang sangat cepat. Pada waktu yang bersamaan, tekanan-tekanan sosial turut memaksanya mengatasi masalah kencan dan memikirkan pekerjaan apa yang akan diambilnya di masa depan. Di lain pihak, kondisi anak ini sedikit mengganggu masyarakat karena ternyata dia masih merasa tidak pasti dengan kemampuan-kemampuannya sendiri. Masyarakat memiliki jadwalnya sendiri, dan ketika si anak menginjak usia 20 tahun atau lebih, mereka mulai menekan dia untuk memutuskan sebuah karir. Sementara si anak lagi-lagi menemukan dirinya berkonfrontasi dengan tahapan baru, dan semuanya terjadi secara berurutan.
            Setiap orang kalau begitu harus melewati semua tahapan, entah dia harus berhasil melewati tahap sebelumnya atau tidak. Jadi yang benar menurut Erikson adalah keberhasilan di tahap sebelumnya mempengaruhi peluang  keberhasilan ditahap sebelumnya. Contohnya anak yang dapat mengembangkan pengertian yang teguh mengenai rasa percaya kepada pengasuhan dapat merasa cukup kuat untuk meninggalkan mereka dan mengeksplorasi sendiri lingkungannya. Sebaliknya, anak yang kekuranngan rasa percaya ini ─ yang tidak ditinggalkan pengasuhnya ─ kurang begitu sanggup mengembangkan rasa otonomi. (jika dilihat dari sudut pandang yanng berbeda, anak sendirilah sebenarnya yang mengembangkan keseimbangan rasa percaya yang kemudian mendorongnya menjelajahi dunia dengan penuh harapan dan antisipasi, dan secara bersemangat mengetes kekuatan-kekuatan baru dari suatu tindakan yang independen). Dengan kata lain, hasil setiap tahapan mempengaruhi peluang hasil positif di tahap berikutnya. Daya-daya pendewasaan biologis dan program sosial tidak akan pernah berhenti memaksa anak menghadapi masalah-masalah baru di setiap tahapan, tak peduli hasilnya.

Konsepsi Baru tentang Ego
            Sebagaimana tampak dalam pembicaraan sebelumnya tentang tahap-tahap kehidupan yang dikemukakan Erikson, ia telah memberikan pada ego sejumlah kualitas yang jauh melampaui konsepsi psikoanalitik pendahulu tentang ego. Kualitas seperti kepercayaan dan pengharapan, otonomi dan kemauan, kerajinan dan kompetensi, identitas dan kesetiaan, keakraban dan cinta, generativitas dan pemeliharaan, serta integritas, meski diakui sebagai kualitas manusiawi, namun biasanya tidak dibahas dalam literatur psikoanalitik. Kalau toh disinggung, pembicaraan biasanya berupa penelusuran kembali kualitas itu pada sumber-sumber di masa kanak-kanak. Erikson mengejek tekanan yang eksklusif pada apa yang disebutnya originologi atau reduksionisme menurut orang lain.
            Erikson menyatakan bahwa ia menyadari konotasi-konotasi idealistik pada kata-kata, seperti kepercayaan, harapan, kesetiaan, keakraban, integritas, dst. Ia sengaja memilih kata-kata itu karena kata tersebut dalam berbagai bahasa mengkonotasikan nilai-nilai manusiawi universal yang baik dalam kebudayaan-kebudayaan primitif yang kuno maupun dalam kehidupan modern mempertautkan tiga bidang hakiki satu sama lain, yakni siklus kehidupan individu, urutan generasi dan struktur sosial dasar.
            Ia berpendapat bahwa suatu identitas harus berpijak pada tiga aspek kenyataan. Yang pertama adalah aspek faktualitas, yakni universum fakta, data, dan teknik-teknik yang dapat diverifikasikan dengan metode-metode observasi dan tenik-teknik kerja yang sedang berlaku (1974, hal. 33). Kemudian terdapat kesadaran akan kenyataan yang juga disebut universalitas karena ia menggabungkan yang praktis dan komplit ke dalam sejenis visi tentang semesta. Aspek yang ketiga adalah aktualitas, yakni suatu cara baru dalam berhubungan satu sama lai, menggiatkan dan memeperkuatkan satu sama lain demi mencapai tujuan bersama (1974, hal. 33).
           
Daftar Pustaka
Crain, William. 2007. Teori Perkembangan Edisi Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

BIMBINGAN KONSELING SOSIAL Teori Perkembangan Sosial Erik H. Erikson




Disusun oleh :
1.      Emita Distiana dkk


A.     Pendahuluan
”Man the un-known”  (Manusia adalah makhluk misteri) demikian diungkapkan oleh Alexis Carel ketika menggambarkan ketidaktuntasan pencarian hakekat manusia oleh para ahli. Banyak ikhtiar akademis yang dilakukan oleh para ahli yang saat ingin memapar siapa sesungguhnya dirinya. Ilmu-ilmu seperti filsafat, ekonomi, sosiologi, antropologi, juga psikologi dan beberapa ilmu lainnya adalah ilmu yang membahas tentang manusia dengan perspektif masing-masing.
Erik Erikson adalah salah satu diantara para ahli yang melakukan ikhtiar itu. Dari perspektif psikologi, ia menguraikan manusia dari sudut perkembangannya sejak dari masa 0 tahun hingga usia lanjut. Erikson beraliran psikoanalisa dan pengembang teori Freud. Kelebihan yang dapat kita temukan dari Erikson adalah bahwa ia mengurai seluruh siklus hidup manusia, tidak seperti Freud yang hanya sampai pada masa remaja. Termasuk disini adalah bahwa Erikson memasukkan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi perkembangan tahapan manusia, tidak hanya sekedar faktor libidinal sexual.

B.     Tentang Erik H. Erikson (1902-1994)
Erik Erikson lahir di Frankfurt, Jerman pada tanggal 15 Juni 1902 adalah ahli analisa jjiwa dari Amerika, yang membuat kontribusi-kontribusi utama dalam pekerjaannya di bidang psikologi pada pengembangan anak dan pada krisis identitas. Ayahnya (Danish) telah meninggal dunia sebelum ia lahir. Hingga akhirnya saat remaja, ibunya (yang seorang Yahudi) menikah lagi dengan psikiater yang bernama Dr. Theodor Homberger.
Erikson kecil bukanlah siswa pandai, karena ia adalah seorang yang tidak menyenangi atmosfer sekolah yang formal. Ia oleh orang tua dan teman-temannya dikenal sebagai seorang pengembara hingga ia pun tidak sempat menyelesaikan program diploma. Tetapi perjalanan Erikson ke beberapa negara dan perjumpaannya dengan beberapa penggiat ilmu menjadikannya seorang ilmuwan sekaligus seniman yang diperhitungkan. Pertama, ia berjumpa dengan ahli analisa jiwa dari Austria, yaitu Anna Freud. Dengan dorongannya, ia mulai mempelajari ilmu tersebut di Vienna Psychoanalytic Institute, kemudian ia mengkhususkan diri dalam psikoanalisa anak. Terakhir pada tahun 1960, ia dianugerahi gelar professor dari Universitas Harvard.
Setelah menghabiskan waktu dalam perjalanan panjangnya di Eropa Pada tahun 1933 ia kemudian berpindah ke USA dan kemudian ditawari untuk mengajar di Harvard Medical School. Selain itu ia memiliki pratek mandiri tentang psiko analisis anak. Terakhir, ia menjadi pengajar pada Universitas California di Berkeley, Yale, San Francisco Psychoanalytic Institute, Austen Riggs Center, dan Center for Advanced Studies of Behavioral Sciences.
Selama periode ini Erikson menjadi tertarik akan pengaruh masyarakat dan kultur terhadap perkembangan anak. Ia belajar dari kelompok anak-anak Amerika asli untuk membantu merumuskan teori-teorinya. Berdasarkan studinya ini, membuka peluang baginya untuk menghubungkan pertumbuhan kepribadian yang berkenaan dengan orangtua dan nilai kemasyarakatan.
Keinginannya untuk meneliti perkembangan hidup manusia berdasarkan pada pengalamannya ketika di sekolah. Saat itu anak-anak lain menyebutnya Nordic karena ia tinggi, pirang, dan bermata biru. Di sekolah grammar ia ditolak karena berlatar belakang Yahudi.
Buku pertamanya adalah Childhood dan Society (1950), yang menjadi salah satu buku klasik di dalam bidang ini. Saat ia melanjut pekerjaan klinisnya dengan anak-anak muda, Erikson mengembangkan konsep krisis perasaan dan identitas sebagai suatu konflik yang tak bisa diacuhkan pada masa remaja. Buku-buku karyanya antara lain yaitu:Young Man Luther (1958), Insight and Responsibility (1964), Identity (1968), Gandhi's Truth (1969): yang menang pada Pulitzer Prize and a National Book Award dan Vital Involvement in Old Age (1986).


C.      Perbandingan Sigmund Freud dan Erikson
Erikson adalah pengembang teori Freud dan mendasarkan kunstruk teori psikososialnya dari psiko-analisas Freud. Kalau Freud memapar teori perkembangan manusia hanya sampai masa remaja, maka para penganut teori psiko-analisa (freudian) akan menemukan kelengkapan penjelasan dari Erikson, walaupun demikian ada perbedaan antara psikosexual Freud dengan psikososial Erikson. Beberapa aspek perbedan tersebut dapat dilihat di bawah ini:
Freud
Erikson
Perenan/fungsi id dan ketidaksadaran sangat penting
Peran/fungsi ego lebih ditonjolkan, yang berhubungan dengan tingkah laku yang nyata.
Hubungan segitiga antara anak, ibu dan ayah menjadi landasan yang terpenting dalam perkembangan kepribadian.
Hubungan-hubungan yang penting lebih luas, karena mengikutsertakan pribadi-pribadi lain yang ada dalam lingkungan hidup yang langsung pada anak. Hubungan antara anak dan orang tua melalui pola pengaturan bersama (mutual regulation).
Orientasi patologik, mistik karena berhubungan dengan berbagai hambatan pada struktur kepribadian dalam perkembangan kepribadian.
Orientasinya optimistik, kerena kondisi-kondisi dari pengaruh lingkungan sosial yang ikut mempengaruhi perkembang kepribadian anak bisa diatur.
Timbulnya berbagai hambatan dalam kehidupan psikisnya karena konflik internal, antara id dan super ego.
Konflik timbul antara ego dengan lingkungan sosial yang disebut: konflik sosial.

D.     Tahap Perkembangan Hidup Manusia
Teori Erik Erikson tentang perkembangan manusia dikenal dengan teori perkembangan psiko-sosial. Teori perkembangan psikososial ini adalah salah satu teori kepribadian terbaik dalam psikologi. Seperti Sigmund Freud, Erikson percaya bahwa kepribadian berkembang dalam beberapa tingkatan. Salah satu elemen penting dari teori tingkatan psikososial Erikson adalah perkembangan persamaan ego. Persamaan ego adalah perasaan sadar yang kita kembangkan melalui interaksi sosial. Menurut Erikson, perkembangan ego selalu berubah berdasarkan pengalaman dan informasi baru yang kita dapatkan dalam berinteraksi dengan orang lain. Erikson juga percaya bahwa kemampuan memotivasi sikap dan perbuatan dapat membantu perkembangan menjadi positif, inilah alasan mengapa teori Erikson disebut sebagai teori perkembangan psikososial.
Erikson memaparkan teorinya melalui konsep polaritas yang bertingkat/bertahapan. Ada 8 (delapan) tingkatan perkembangan yang akan dilalui oleh manusia. Menariknya bahwa tingkatan ini bukanlah sebuah gradualitas. Manusia dapat naik ketingkat berikutnya walau ia tidak tuntas pada tingkat sebelumnya. Setiap tingkatan dalam teori Erikson berhubungan dengan kemampuan dalam bidang kehidupan. Jika tingkatannya tertangani dengan baik, orang itu akan merasa pandai. Jika tingkatan itu tidak tertangani dengan baik, orang itu akan tampil dengan perasaan tidak selaras.
Dalam setiap tingkat, Erikson percaya setiap orang akan mengalami konflik/krisis yang merupakan titik balik dalam perkembangan. Erikson berpendapat, konflik-konflik ini berpusat pada perkembangan kualitas psikologi atau kegagalan untuk mengembangkan kualitas itu. Selama masa ini, potensi pertumbuhan pribadi meningkat. Begitu juga dengan potensi kegagalan.
Erik Erikson telah menganalisis perkembangan sosial kanak-kanak dalam jangka masa kehidupan mereka. Beliau menjelaskan bahwa manusia mempunyai keperluan asas yang sama dan perkembangan mereka bergantung kepada tindak balas terhadap keperluan tersebut. Perkembangan kanak-kanak berlaku mengikut tahap tertentu. Erikson percaya bahwa setiap tahap mempunyai konflik tertentu yang perlu diatasi supaya tidak menjejaskan perkembangan kanak-kanak. 
Dalam pandangan Erikson, ia menyatakan bahwa masyarakat memainkan peran yang sangat penting dalam perkembangan psikososial individu. Peranan ini dimulai dari aturan atau budaya masyarakat sampai pola asuk orangtua.
Adapun prinsip-prinsip teori psikososial Erikson antara lain :
a.       Manusia mempunyai keperluan asas yang sama.
b.      Perkembangan individu bergantung kepada tindak balas terhadap keperluan-keperluan asas.
c.       Perkembangan manusia mengikut tahap-tahap yang tertentu.
d.      Setiap tahap mempunyai konflik, dan konflik ini mesti diatasi sebelum individu dapat berfungsi dengan jayanya pada tahap yang berikutnya.
e.       Kegagalan mengatasi konflik pada suatu tahap akan menjejaskan perkembangan tahap yang berikutnya.
Sedangkan, delapan tahapan perkembangan psikososial sepanjang siklus kehidupan manusia,akan dijelaskan 4 diantaranya secara rinci berikut ini:
a.       Kepercayaan vs Ketidakpercayaan (Trust vs Mistrust)
                                                i.      Terjadi pada usia 0-1 tahun
                                              ii.      Tingkat pertama teori perkembangan psikososial Erikson terjadi antara kelahiran sampai usia satu tahun dan merupakan tingkatan paling dasar dalam hidup.
                                            iii.      Oleh karena bayi sangat bergantung, perkembangan kepercayaan didasarkan pada ketergantungan dan kualitas dari pengasuh kepada anak.
                                            iv.      Jika anak berhasil membangun kepercayaan, dia akan merasa selamat dan aman dalam dunia. Kepercayaan pada masa bayi menentukan tahap bagi harapan seumur hidup bahwa dunia akan menjadi tempat tinggal yang baik dan menyenangkan. Pengasuh yang tidak konsisten, tidak tersedia secara emosional, atau menolak, dapat mendorong perasaan tidak percaya diri pada anak yang diasuh. Kegagalan dalam mengembangkan kepercayaan akan menghasilkan ketakutan dan kepercayaan bahwa dunia tidak konsisten dan tidak dapat di tebak.
b.       Otonomi vs Rasa Malu dan Ragu-ragu (Autonomy vs Shame/Doubt)
                                                i.      Terjadi pada usia 1-3 tahun
                                              ii.      Terjadi selama masa kanak-kanak awal dan berfokus pada perkembangan besar dari pengendalian diri.
                                            iii.      Seperti Freud, Erikson percaya bahwa latihan penggunaan toilet adalah bagian yang penting sekali dalam proses ini. Tetapi, alasan Erikson cukup berbeda dengan Freud. Erikson percaya bahwa belajar untuk mengontrol fungsi tubuh seseorang akan membawa kepada perasaan mengendalikan dan kemandirian.
                                            iv.      Kejadian-kejadian penting lain meliputi pemerolehan pengendalian lebih, yakni atas pemilihan makanan, mainan yang disukai, dan juga pemilihan pakaian.
                                              v.      Anak yang berhasil melewati tingkat ini akan merasa aman dan percaya diri dan mereka mulai menyatakan rasa mandiri atau otonomi mereka. Mereka menyadari kemauan mereka.  Sementara yang tidak berhasil akan merasa tidak cukup, malu dan ragu-ragu terhadap diri sendiri.
c.       Inisiatif vs Rasa Bersalah (Initiative vs Guilt)
                                                i.      Terjadi pada usia 3-5 tahun.
                                              ii.      Selama masa usia prasekolah mulai menunjukkan kekuatan dan kontrolnya akan dunia melalui permainan langsung dan interaksi sosial lainnya. Mereka lebih tertantang karena menghadapi dunia sosial yang lebih luas, maka dituntut perilaku aktif dan bertujuan.
                                            iii.      Anak yang berhasil dalam tahap ini merasa mampu dan kompeten dalam memimpin orang lain. Adanya peningkatan rasa tanggung jawab dan prakarsa.
                                            iv.      Mereka yang gagal mencapai tahap ini akan merasakan perasaan bersalah, perasaan ragu-ragu, dan kurang inisiatif. Perasaan bersalah yang tidak menyenangkan dapat muncul apabila anak tidak diberi kepercayaan dan dibuat merasa sangat cemas.
                                              v.      Erikson yakin bahwa kebanyakan rasa bersalah dapat digantikan dengan cepat oleh rasa berhasil.
d.       Tekun vs Rasa Rendah Diri (Industry vs Inferiority)
                                                i.      Terjadi pada usia 6 tahun-pubertas
                                              ii.      Melalui interaksi sosial, anak mulai mengembangkan perasaan bangga terhadap keberhasilan dan kemampuan mereka.
                                            iii.      Anak yang didukung dan diarahkan oleh orang tua dan guru membangun perasaan kompeten dan percaya dengan ketrampilan yang dimilikinya.
                                            iv.      Anak yang menerima sedikit atau tidak sama sekali dukungan dari orang tua, guru, atau teman sebaya akan merasa ragu akan kemampuannya untuk berhasil.
                                              v.      Prakarsa yang dicapai sebelumnya memotivasi mereka untuk terlibat dengan pengalaman-pengalaman baru.
                                            vi.      Ketika beralih ke masa pertengahan dan akhir kanak-kanak, mereka mengarahkan energy mereka menuju penguasaan pengetahuan dan ketrampilan intelektual.
                                          vii.      Permasalahan yang dapat timbul pada tahun sekolah dasar adalah berkembangnya rasa rendah diri, perasaan tidak berkompeten, dan tidak produktif.
                                        viii.      Erikson yakin bahwa guru memiliki tanggung jawab khusus bagi perkembangan ketekunan anak-anak.

Daftar Pustaka
Izzaty, Rita Eka dkk. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Yogyakarta: UNY Press








Followers

pengunjung

Seputar Kampus FIP