Follow Me:
PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pendidikan ada karena adanya suatu masyarakat yang beperan di dalamanya, maka pendidikan dan masyarakat itu memiliki suatu hubungan yang erat dan ketergantungan. Oleh karena itu pendidikan merupakan suatu bantuan yang di dalamnya terdapat pengabdian masyarakat sehingga masyarakat itu semngkin berkembang dan maju dengan adanya suatu pendidikan. Pendidikan adalah sebuah proses pemetangan dan pendewasaan masyarakat. Maka lembaga-lembaga pendidikan harus memahami perannya tidak sekadar menjual jasa tetapi memiliki tugas mendasar memformat Sumber Daya Manusia yang unggul.

Masyarakat ternyata tidak statis, tetapi dinamis, bahkan sangat dinamis. Pada masa sekarang ini masyarakat mengalami perubahan sosial yang sangat pesat. Apalagi pada saat ini kemajuan teknologi dan eraglobalisasi yang semangkin pesat membuat masyarakat harus bisa merangkum pemahaman suatu perubahan yang ada di sekitar kita sehingga menuju masyarakat yang modern. Modernisasi itu sendiri adalah proses perubahan masyarakat dan kebudayaannya dari hal-hal yang bersifat tradisional menuju modern. Globalisasi pada hakikatnya merupakan suatu kondisi meluasnya budaya yang seragam bagi seluruh masyarakat di dunia. Globaliasi muncul sebagai akibat adanya arus informasi dan komunikasi yang begitu cepat. Sebagai akibatnya, masyarakat dunia menjadi satu lingkungan yang seolah-olah saling berdekatan dan menjadi satu sistem pergaulan dan budaya yang sama.

Menuerut sange tahun 1990 dalam maliki (2010:276) perubahan merupaka suatu yang tidak yang tidak bisa dielakkan, karena ia melekat, built in dalam proses pengembangan masyarakat. Kebutuhan untuk bisa survive dalam ketidakpastian dan perubahan menjadi tuntutan masa kini. Perubahan terjadi begitu cepat dan luas, termasuk mengubah dasar-dasar asumsi dan paradigma memandang perubahan. Perubahan yang terjadi di masyarakat tentunya sangat berpengaruh pada dunia pendidikan. Masalah-masalah sosial yang muncul di tengah masyarakat juga dialami dunia pendidikan. Sosiologi pendidikan memainkan perannya untuk ikut memformat pendidikan yang mampu berkiprah secara kontekstual. Sistem, muatan, proses dan arah pendidikan perlu ditata ulang dan diatur secara khusus sehingga mampu menjawab sekaligus bermain di arena perubahan sosial tersebut.

B. Rumusan Masalah 

Rumusan-rumusan yang di bahas adalah sebagai berikut

1. Apa penyebab terjadinya suatu perubahan sosial budaya itu

2. Bagamina pengaruh perunahan sosial budaya terhadap suatu pendidikan itu sendiri.
3. Bagaimmana caranya mengimplemntasi terhadap suatu perubahan sosial budaya terhadap pendidikan.

 BAB II PEMBAHASAN PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA

Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan (Widodo:2008). Perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi; cara dan pola pikir masyarakat; faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya konflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.

Perkembangan masyarakat seringkali juga dianalogikan seperti halnya proses evolusi. suatu proses perubahan yang berlangsung sangat lambat. Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh hasil-hasil penemuan ilmu biologi, yang memang telah berkembang dengan pesatnya. Peletak dasar pemikiran perubahan sosial sebagai suatu bentuk “evolusi” antara lain Herbert Spencer dan Augus Comte. Keduanya memiliki pandangan tentang perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat dalam bentuk perkembangan yang linear menuju ke arah yang positif. Perubahan sosial menurut pandangan mereka berjalan lambat namun menuju suatu bentuk “kesempurnaan” masyarakat.

Berbeda dengan Spencer dan Comte yang menggunakan konsepsi optimisme, Oswald Spengler cenderung ke arah pesimisme. Menurut Spengler, kehidupan manusia pada dasarnya merupakan suatu rangkaian yang tidak pernah berakhir dengan pasang surut. seperti halnya kehidupan organisme yang mempunyai suatu siklus mulai dari kelahiran, masa anak-anak, dewasa, masa tua dan kematian. Perkembangan pada masyarakat merupakan siklus yang terus akan berulang dan tidak berarti kumulatif. 

BENTUK-BENTUK PERUBAHAN SOSIAL DAN BUDAYA

1. Perubahan Evolusi dan Revolusi Perubahan evolusi adalah perubahan-perubahan yang berlangsung lama.

Biasanya terjadi karena adanya usaha-usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan keadaan dan kondisi baru yang muncul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Contohnya adalah pada perkembangan ilmu pengetahuan. Perubahan revolusi adalah perubahan yag berlangsung cepat dan mendasar. Perubahan ini bisa terjadi karena ada rencana sebelumnya atau tidak sama sekali. Contoh revolusi adalah revolusi industri di Inggris, dimana terjadi perubahan produksi yang awalnya tanpa mesin menjadi menggunakan mesin.

Menurut para ahli, agar perubahan revolusi bisa terjadi, maka ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
 • Ada keinginan umum untuk mengadakan perubahan.
 • Ada pemimpin yang dianggap mampu memimpin masyarakat, menampung keinginan masyarakat, dan  dapat menunjukkan suatu tujuan yang jelas pada masyarakat.
 • Ada keadaan yang tepat dan aktor (pelaku perubahan) yang baik untuk memulai perubahan.

 2. Perubahan Kecil dan Besar Perubahan kecil adalah perubahan yang tidak membawa pengaruh langsung atau berarti pada masyarakat.

Contoh: perubahan mode pakaian, mode rambut, dan lain-lain yang tidak berpengaruh bagi masyarakat secara keseluruhan jika kita tidak mengikutinya. Perubahan besar adalah perubahan yang membawa pengaruh langsung atau berarti bagi masyarakat. Contohnya penggunaan komputer dan internet untuk menunjang kerja, penggunaan traktor bagi petani, dan lain-lain yang membawa perubahan signifikan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan.

 3. Perubahan yang Dikehendaki (Direncanakan) dan Tidak Dikehendaki (Tidak Direncanakan) Perubahan yang direncanakan adalah perubahan yangterjadi karena adanya perencanaan ataupun perkiraan oleh pihak yang merencanakan perubahan tersebut (agent of change).

Agent of change merupakan pihak yang diberi kepercayaan oleh masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih kembaga kemasyarakatan. Contoh perubahan ini adalah kewajiban masyarakat untuk menanam pohon yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Perubahan yang tidak direncanakan adalah perubahan yang tidak dikehendaki dan berlangsung diluar jangkauan masyarakat untuk menahannya, dan biasanya menimbulkan pertentangan di dalam masyarakat. Contohnya kecenderungan untuk mempersingkat prosesi pernikahan karena memerlukan biaya besar, meski perubahan ini tidak dikehendaki tapi masyarakat tidak mampu menghindarinya.

 4. Perubahan Progres dan Regres Perubahan progres adalah perubahan yang membawa keuntungan bagi masyarakat.

Contoh perkembangan pendidikan masyarakat. Perubahan regres adalah perubahan yang membawa kemunduran bagi masyarakat di bidang tertentu. Contoh perubahan pola kehidupan remaja yang mabuk-mabukan.

FAKTA SOSIAL DAN KEBUDAYAAN INDONESIA

Telah diketahui bahwa Indonesia merupakan negara yang majemuk. Dari Sabang sampai Merauke terdiri atas suku bangsa yang mana kesemuanya memiliki sistem, stuktur sosial dan kebudayaan yang berbeda. Kondisi masyarakat tersebut baik secara sadar maupun tidak sadar ternyata memungkinkan terjadinya persinggungan struktur sosial dan budaya antara satu dengan yang lainnya yang mana hal tersebut akan mengarah pada perubahan sosial dan kebudayaan. Persinggungan ini awalnya bersifat mikro namun lama kelamaan dapat berubah menjadi makro yang mencakup bangsa Indonesia secara umum.

Dengan banyak ditemukannya kebudayaan yang ada di Indonesia (Jawa, Sumatera, dll) membuat Indoneia sulit menemukan struktur sosial dan kebudayaan yang pas dan dapat merangkum keseluruhannya. Kelabilan semacam ini memungkinkan terjadinya difusi sosial dan kebudayaan secara besar-besaran. Kontak antara Indonesia dengan negara-negara lain di dunia, baik secara aktif maupun defensif akan menimbulkan dampak yang memungkinkan mengarah pada perubahan sosial dan kebudayaan yang kurang konstruktif. Memang harus diakui bahwa bebarengan dengan konteks sesama bangsa tersebut akan hadir pol-pola baru yang mengarah ke upaya maju dan modern. Namun gejala-gejala modern yang telah merambah dunia sepatutnya harus kita renungi. Menurut Soemardjan (1962:53), ciri-ciri masyarakat modern antara lain :

1. Hubungan antar manusia lebih didasarkan atas kepentingan pribadi
2. Hubungan dengan masyarakat lain dilakukan secara terbuka dalam suasana saling mempengaruhi
3. Kepercayaan kuat pada ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sarana untuk senantiasa meningkatkan  kesejahteraan masyarakat
4. Masyarakat bergolong-golong menurut bermacam-macam profesi maupun keahlian yang masing-masing dapat dipelajari dan ditingkatkan dalam lembaga-lembaga pendidikan sekolah dasar, ketrampilan, dan kejuruan.
5. Tingkat pendidikan formal masyarakat tinggi dan merata
6. Hukum yang berlaku adalah hukum tertulis yang sangat kompleks sifatnya
7. Ekonomi hampir seluruhnya ekonomi pasaran yang didasarkan atas penggunaan uang dan alat-alat pembayaran lainnya.

Selain hal tersebut, masyarakat modern juga ditandai oleh karateristik yang mencolok, yaitu makin longgar ikatan sosial, orientasi pada kepentingan individual, keterbukaan yang bersifat bebas, dan berbagai bentuk fleksibilitas kegiatan lainnya (Soemardjan, 1983). Kemodernan tersebut nampaknya sudah ada di masyarakat Indonesia, hal ini tentu menjadi daya dukung yang tinggi terhadap kemungkinan terjadinya perubahan sosial dan budaya yang pada akhirnya dapat menghilangkan eksistensi bangsa sendiri.

Adanya tempat yang berlebihan terhadap nilai ilmu pengetahuan dan teknologi oleh masyarakat mulai engakibatkan turunnya nilai-nilai filosofis yang hakiki, bahkan nilai-nilai religius pun sudah mulai tergeser dan terkesampingkan. Di samping itu juga timbul keprihatinan sosial dan kemiskinan budaya, khususnya di kalangan generasi muda, terutama sebagai akibat kebebasan dan keterbukaan hubungan dengan bangsa lain. Nilai-nilai baru mulai diberlakukan tanpa didahului dengan upaya memilih dan menyeleksi, mana ang patut dan perlu diterima dan mana yang seharusnya ditolak atau dihindari/dijauhi.

Setelah dilihat dari uraian di atas, dapat dijelaskan kembali bahwa di bangsa Indonesia sendiri sekarang sudah terjadi perubahan sosial dan kebudayaan baik secara mikromaupun makro, maka sekarang yang terpenting adalah mengupayakan cara agar perubahan sosial dan kebudayaan terjadi secara wajar dan dapat dikendalikan sesuai dengan yang telah dikehendaki dan direncanakan, karena apabila kita menolak perubahan tersebut berarti kita membiarkan bangsa tertindas dan tertinggal oleh kemajuan zaman. Langkah dan upaya yang paling baik untuk menetralisasi kontroversi tersebut adalah dengan bertumpu pada lembaga pendidikan, karena lembaga pendidikan khususnya sekolah merupakan wahana primer yang bersangkutan dengan segala bentuk pendayagunaan potensi bangsa, yaitu generasi muda. Pendidikan sekolah dituntut untuk dapat menanamkan nilai-nilai kepribadian dan filosofis bangsaan serta mempertahankan dan melestarikannya.

PENGARUH PERUBAHAN SOSIAL PADA PENDIDIKAN

Carut-marut situasi pendidikan di Indonesia memang tidak lepas dari pengaruh perubahan sosial. Setiap berbicara mengenai pendidikan, orang selalu berkonotasi sekolah formal. Meski tidak semuanya salah namun konsep ini menisbikan peran pendidikan informal dan non formal, padahal keduanya sama pentingnya. Dengan demikian keterpurukan pendidikan tidak boleh didefinisikan sebagai kegagalan pendidikan formal semata. Kebobrokan sistem dan perilaku sejumlah pemuka masyarakat dan negara, dengan demikian bukan dosa sekolah semata.

Oleh sebab itu sekolah juga mendapat tempat yang istimewa dalam pemikiran tiap orang dalam usahanya meraih tangga sosial yang lebih tinggi. Sedemikian istimewanya hingga sekolah telah menjadi salah satu ritus yang harus dijalani orang-orang muda yang hendak mengubah kedudukannya dalam susunan masyarakat. Mudah diduga bahwa jalan pikiran seperti itu secara logis mengikuti satu kanal yang menampung imajinasi mayoritas mengalir menuju sebuah muara, yakni credo tentang sekolah sebagai kawah condrodimuko tempat agen-agen perubahan dicetak.

Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat menyangkut nilai-nilai sosial, pola-pola perilaku, organisasi, lembaga kemasyarakatan, lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, yang terjadi secara cepat atau lambat memiliki pengaruh mendasar bagi pendidikan. Perubahan sosial tak lagi digerakkan hanya oleh sejenis borjuis di Eropa abad 17 – 18 melawan kaum feodal, atau oleh kelas buruh yang ingin mengakhiri semacam masyarakat borjuis di abad 19 untuk kemudian menciptakan masyarakat nir kelas, atau oleh para petani kecil yang mencita-citakan suatu land-reform. Juga lebih tak mungkin lagi keyakinan bahwa perubahan hanya dimotori oleh kaum profesional yang merasa diri bebas dan kritis. Masyarakat sipil terdiri dari aneka kekuatan dan gerakan yang membawa dampak perubahan di sana sini.

Esensi dari sekolah adalah pendidikan dan pokok perkara dalam pendidikan adalah belajar. Oleh sebab itu tujuan sekolah terutama adalah menjadikan setiap murid di dalamnya lulus sebagai orang dengan karakter yang siap untuk terus belajar, bukan tenaga-tenaga yang siap pakai untuk kepentingan industri. Dalam arus globalisasi dewasa ini perubahan-perubahan berlangsung dalam tempo yang akan makin sulit diperkirakan. Cakupan perubahan yang ditimbulkan juga akan makin sulit diukur. Pengaruhnya pada setiap individu juga makin mendalam dan tak akan pernah dapat diduga dengan akurat.

Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sedemikian pesat. Ekonomi mengalami pasang dan surut berganti-ganti sulit diprediksi. Konstelasi kekuatan-kekuatan politik juga berubah-ubah. Kita tak lagi hidup dengan anggapan lama tentang dunia yang teratur harmonis. Sebaliknya setiap individu sekarang menghadapi suatu keadaan yang cenderung tak teratur. Kecenderungan chaos seperti ini harus dihadapi dan hanya dapat dihadapi oleh orang-orang yang selalu siap untuk belajar hal-hal baru.

Bukanlah mereka yang bermental siap pakai yang akan dapat memanfaatkan dan berhasil ikut mengarahkan perubahan-perubahan kontemporer melainkan mereka yang pikirannya terbuka dan antusias pada hal-hal baru. Keadaan tersebut akan berpengaruh besar pada pendidikan. Oleh sebab itu sekolah, di tingkat manapun, yang tetap menjalankan pendidikan dengan orientasi siap pakai untuk para pelajarnya tidak boleh rusak akibat perubahan tetapi sebaliknya harus mampu menjadi pengemban misi sebagai agent of changes tetapi sekedar consumers of changes. Dari sekolah dengan pandangan siap pakai tidak akan dihasilkan orang-orang muda yang dengan kecerdasannya berhasil memperbaiki kedudukannya dalam susunan sosial output dari sekolah semacam itu hanya dua. Pertama, orang-orang muda yang terlahir berada dan akan terus menduduki strata sosial tinggi, Kedua, para pemuda tak berpunya yang akan tetap menelan kecewa karena ternyata mereka makin sulit naik ke tangga sosial yang lebih tinggi dari orang tua mereka. Sekolah yang tetap kukuh dengan prinsip-prinsip pedagogis, metode-metode pendidikan dan teknik-teknik pengajaran yang bersemangat siap pakai hanya akan menjadi lembaga reproduksi sosial bukan lembaga perubahan sosial. 

IMPLEMENTASI POLITIS SEKOLAH

Patut dipahami bahwa sudah saatnya dunia pendidikan kita mengantisipasi kebijakan (policy) sedini mungkin kearah yang fundamental dan rawan terkena difusi perubahan sosial dan kebudayaan yang bisa menjurus ke hal-hal yang merugikan bangsa.

Sehubungan dengan hal tersebut, pendidikan hendaknya mampu mengarahkan terciptanya kondisi yang benar-benar steril, baik dari pengaruh internal maupun eksternal yang bisa menggerogoti, mengurangi, atau mengganti unsur dan sendi-sendi fundamental yang menjadi visi utamanya. Secara konkret, politisi pendidikan hendaknya mendasar pada aspek berikut:

1. Politisi pendidikan hendaknya diarahkan pada upaya untuk mengembangkan pola pemetaan sendi-sendi dasar/fundamental dan filosofis yang mengarah pada terwujudnya konsepsi kepribadian Indosnesia.
2. Politisi hendaknya mampu menyaranai dikenal, dipahami dan diresapi nilai-nilai sosial budaya bangsa, baik yag bersifat lokal maupun nasional.
3. Politisi hendaknya dapat menjadi filter yang benar-benar ampuh dan memenuhi syarat untuk memilah dan memilih pengaruh-pengaruh luar.
4. Pendidikan hendaknya mengarahkan orientasi sasaran dan tujuannya, bukan semata-mata dengan upaya yang optimal ke arah terbentuknya keseimbangan antara kemampuan profesional, personal, dan sosial-nasioal.
5. Pendidikan hendaknya mampu menciptakan kondisi yang potensial bagi tetap terpelihara dan terjaganya kelengkapan dan keutuhan sistem dan struktur sosial-budaya tanah air.
6. Pendidikan harus mampu mengarahkan pola kehendak dan rencana perubahan sosial dan kebudayaan yang positif.

Soemardjan, Selo dan Soelaeman Soemardi. 1962. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Soemardjan, Selo. 1983. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat. Jakarta: CV. Rajawali. http://cor-amorem.blogspot.com/2010/12/pengaruh-perubahan-sosial-pada.html, Markus Basuki, Pengaruh Perubahan Sosial Pada Pendidikan, diunduh pada tanggal 2 Maret 2012, pada pukul 16.8

Jurnal Ketidakmampuan Belajar (bk belajar)




Identifikasi Ketidakmampuan Belajar: Intervensi Primer, Intervensi Sekunder, dan Lalu Apa?
Daniel J. Reschly
J Learn Disabil 2005; 38; 510
DOI: 10.1177/00222194050380060601

Versi online dari artikel ini dapat ditemukan di:


Diterbitkan oleh:
Hammill Institute on Disabilities





Layanan tambahan dan informasi untuk Jurnal Ketidakmampuan Belajar dapat dilihat di:
Email yang Tersedia: http://ldx.sagepub.com/cgi/alerts
Langganan: http://ldx.sagepub.com/subscriptions
Cek Ulang: http://www.sagepub.com/journalsReprints.nav






Identifikasi Ketidakmampuan Belajar:
Intervensi Primer, Intervensi Sekunder, dan Lalu Apa?

Daniel J. Reschly


Abstrak
Sebuah konsensus yang meluas telah dicapai berdasarkan pentingnya intervensi primer dan sekunder awal bagi anak-anak dalam lingkungan akademik untuk tujuan meningkatkan kompetensi akademik secara keseluruhan dan mencegah prestasi rendah yang sering menyebabkan diagnosis Specific Learning Disability (SLD)/Ketidakmampuan Belajar Spesifik dan penempatan pendidikan khusus jangka panjang. Karakteristik dari program pencegahan yang efektif secara umum dilakukan dengan baik. Seberapa jauh program ini mencegah SLD tidak diketahui, prosedur selanjutnya untuk menentukan kelayakan SLD sangat banyak pokok permasalahan. Isu tentang apa yang harus dilakukan mengenai identifikasi SLD akan dibahas setelah upaya intervensi primer dan sekunder terbukti tidak memadai untuk individu anak-anak.
 


K
arya tulis dalam simposium ini seperti halnya penelitian lainnya oleh penulis
secara tegas menetapkan perjanjian mengenai intervensi akademis yang lebih efektif untuk meningkatkan kompetensi membaca secara keseluruhan dan setidaknya mencegah beberapa proporsi
Ketidakmampuan Belajar Spesifik/Specific Learning Disability (SLD). Dalam tulisan ini, sebuah ringkasan singkat dari penemuan ini akan memicu sebuah diskusi tentang apa yang mungkin atau sebaiknya terjadi antara kekurangan terdokumentasi dari intervensi sekunder untuk individu anak dan penentuan dari SLD dan penempatan pendidikan khusus. Perdebatan yang keras tentang "Then What" (Lalu Apa) telah muncul di sekolah psikologi dan kemungkinan akan terjadi pada organisasi profesi dan spesialisasi lainnya. Taruhannya sangat besar yang terlibat dalam membangun SLD, anak-anak dengan masalah akademis, dan peran profesional psikolog sekolah dan spesialis lain yang terlibat dengan SLD, serta untuk pempublikasi  penilaian instrumen dan prosedur pendidikan dan psikologis.

Berbagai Tingkatan Intervensi
Upaya pencegahan primer dan sekunder merupakan bagian dari berbagai tingkatan
dari intervensi akademik dan perilaku yang dirancang untuk mencegah berkembangnya masalah melalui intervensi yang efektif untuk semua anak, identifikasi awal dan intervensi untuk anak-anak yang menunjukkan munculnya permasalahan, dan jika upaya tersebut tidak memadai, penentuan kelayakan untuk pelayanan SLD dan kebutuhan untuk pendidikan khusus (lihat Tabel 1). Tingkat atau tingkatan intervensi adalah deskriptif tentang apa yang diharapkan; namun, penekanannya jelas pada pencegahan, identifikasi awal, dan intervensi.
Dasar pengetahuan intervensi primer dan sekunder dalam membaca telah berkembang secara signifikan dalam tahun-tahun terakhir ini (misalnya, Foorman, 1995; Simmons, Kame'enui, Coyne, & Chard, 2002; Torgesen et al, 2001;. Vaughn, Gersten, & Chard, 2000; Vaughn & Linan-Thompson, 2003). Prinsip para instruksional yang ditetapkan dalam literatur diimplementasikan secara efektif di penelitian Kamps dan Greenwood (2004) dengan anak-anak muda, anak-anak yang kurang beruntung secara ekonomi. Prinsip-prinsip ini melibatkan penggunaan secara empiris intervensi membaca yang telah divalidasi dengan menggunakan berbagai komponen (kesadaran fonemik, prinsip berdasarkan alphabet, kosa kata, kelancaran, dan pemahaman). Instruksi dipimpin guru, terstruktur, dan berbasis skill. Integritas pengobatan diakui sangat penting dan dinilai secara sistematis. Anak-anak sering merespon dan menerima umpan balik. Cukup besar peluang untuk praktek diberikan untuk memastikan penguasaan keterampilan dan pencapaian kelancaran yang cukup untuk mendukung pemahaman membaca yang baik. Kemajuan anak sering dipantau setiap waktu, dan perubahan dalam intervensi dilaksanakan tergantung pada hasil/outcome si anak.
Persetujuan mengenai penggunaan berbagai tingkatan pencegahan dan intervensi hampir universal. Satu set prinsip umum telah direkomendasikan di dalam konseptualisasi yang berbeda dari intervensi primer dan sekunder, juga digambarkan seperti berbagai tingkatan intervensi (Donovan & Cross, 2002; lihat Tabel 1). Perbedaan dalam tingkat atau tingkatan yang dijelaskan dalam Tabel 1 adalah intensitas intervensi dan ketepatan pengukuran. Prinsip-prinsip fundamental yang sama digunakan di semua tingkat. Sebagai contoh, dalam pencegahan sekunder, atau intervensi Tingkat 2, terbentuk kelompok-kelompok kecil anak (3-6 siswa per kelompok), instruksi lebih intensif menjadi lebih eksplisit dan dipandu dengan analisis tugas yang lebih rinci, dengan lebih banyak kesempatan dalam respon dan umpan balik, pemantauan kemajuan lebih kuat dan tepat (misalnya, satu kali per minggu vs setiap beberapa minggu), dan lebih sering dilakukan evaluasi formatif (yakni, menggunakan kehasilan anak untuk mengubah intervensi). Meskipun ada kesepakatan mengenai setidaknya dua tingkatan seperti yang dijelaskan dalam Tabel 1, beberapa isu-isu/masalah yang belum diselesaikan, termasuk pertanyaan tentang apa yang dilakukan tentang identifikasi SLD jika intervensi primer dan sekunder tidak mencukupi.

TABEL 1
Berbagai Tingkatan Intervensi Akademis dan Tingkah Laku
Tingkatan/Wilayah
Akademis
Tingkah Laku dan Pengaturan Emosional
Peraturan
Tingkat1: Pencegahan Primer:
Pendidikan Umum-Semua siswa
Pastikan instruksi (pengajaran) pendidikan umum didasarkan secara ilmiah dan menghasilkan hasil yang baik bagi kebanyakan anak
Mendukung perilaku/tingkah laku yang positif dan kedisiplinan seluruh sekolah yang efektif

Kemajuan ke arah pertemuan tolok ukur; Butuh intervensi lebih kuat
Tingkat 2: Pencegahan Sekunder:
Standar Protokol-Mungkin 20% dari siswa diberikan setiap waktu
Kelompok kecil les (3-6 siswa); Memantau kemajuan; Sistematis, pengajaran yang terstruktur
Intervensi tingkah laku dan organisasi kelas dan manajemen bantuan tingkah laku yang diperlukan

Kemajuan ke arah penutupan kesenjangan dengan teman sebaya atau kebutuhan untuk intervensi lebih intensif pada tingkat 3
Tingkat 3: Intervensi Individual dan Identifikasi SLD- Mungkin 5% dari siswa pada waktu tertentu
Intervensi akademik individu secara intensif di pendidikan umum
Intervensi individual intensif  untuk tingkah laku dan pengaturan emosional yang dibutuhkan
Penentuan kelayakan pendidikan khusus
berdasarkan kesenjangan besar dibandingkan dengan teman sebaya, kinerja di bawah tolok ukur, dan tingkat pertumbuhan lambat
Tingkat 4: Pencegahan Tersier:
Pendidikan Khusus IEP-berdasarkan; Sampai 5% dari siswa di SLD pada waktu tertentu
Penerapan intervensi intensif, sering memantau kemajuan dengan evaluasi formatif, prinsip-prinsip penerapan desain instruksional yang efektif; keluar kriteria
Penerapan intervensi intensif, sering memantau  kemajuan dengan
evaluasi formatif,
penerapan secara efektif
prinsip perubahan perilaku; keluar kriteria
Kemajuan ke arah menutup kesenjangan
dengan teman sebaya di bidang akademik dan tingkah laku; Keluar pendidikan khusus
ketika kesenjangan cukup menutup
Note. SLD = Sspecific Learning Disability; IEP = Individualized Education Program

Berapa Banyak Tingkatan?
Formulasi berbeda-beda pada berbagai tingkatan. Hampir semua setuju bahwa tingkat pertama adalah pendidikan umum dan tingkat akhir adalah pendidikan khusus. Pertanyaannya adalah apakah ada satu atau dua tingkatan antara titik akhir pada kontinum ini. Argumen untuk empat tingkatan adalah bahwa kelompok kecil (Tingkat 2) dan intervensi individual (Tingkat 3) harus dicoba sebelum penentuan kelayakan pendidikan khusus. Akademik sekunder (Tingkat 2) dan intervensi perilaku biasanya disampaikan kepada kelompok anak-anak (atau kelas) dengan instruksi (pengajaran) individualisasi atau metode perubahan tingkah laku yang agak terbatas. Pendukung empat tingkatan menyarankan tahap pemecahan masalah yang intensif melibatkan akademik individual dan, jika diperlukan, intervensi tingkah laku. Perbedaan pandangan jumlah tingkatan biasanya mengikuti erat dilihat tentang apa yang harus dilakukan untuk menentukan kelayakan setelah upaya pencegahan sekunder Tingkat 2 telah terbukti tidak cukup. Pendukung tiga tingkatan biasanya menyarankan proses yang melibatkan pengolahan standar tes kemampuan atau kognitif sebaiknya mengikuti intervensi sekunder untuk menentukan keberadaan dari SLD, sedangkan pendukung dari empat tingkatan menyarankan pemecahan masalah yang intensif diproses untuk menentukan SLD (lihat diskusi selanjutnya).
Solusi yang mungkin adalah menggabungkan layanan yang dijelaskan pada Tingkat kedua dan ketiga pada Tabel 1. Dalam pengaturan ini, Tiingkat 1 dan 2 akan dilihat terutama sebagai langkah pencegahan dan Tingkat 3 sebagai kombinasi penentuan pencegahan dan kelayakan. Langkah-langkah dalam identifikasi SLD setelah Tingkat 1 dan 2 tidak jelas dalam IDEA (2004). Salah satu pilihan merupakan tahap pemecahan masalah yang intensif, saat ini diterapkan di beberapa tempat (Barbour, 2002; Marston, 2002; Reschly,
Tilly, & Grimes, 1999; Tilly, Reschly, & Grimes, 1999).

Domain yang Ditujukan
Meskipun intervensi sekunder Tingkat 2 biasanya berfokus pada keterampilan akademik, masalah tingkah laku juga sangat penting untuk memproduksi hasil positif bagi banyak anak-anak. Sebagai contoh, Torgeson et al. (2001) melaporkan bahwa peringkat guru dalam perhatian/perilaku adalah salah satu prediktor yang terbaik dari hasil intervensi jangka panjang untuk anak-anak dengan kesulitan membaca. Proporsi anak dengan masalah membaca memiliki masalah bersamaan dengan waktu pada tugas, perhatian, menyelesaikan pekerjaan, dan sebagainya. Kegagalan untuk mengatasi masalah tingkah laku bersama dengan kekurangan keterampilan akademik mengurangi dampak dari intervensi akademik.
Kebanyakan anak-anak dengan permasalahan membaca yang signifikan, ya atau tidaknya mereka dianggap memenuhi syarat untuk SLD dan pendidikan khusus, akan menghabiskan sebagian besar hari sekolah mereka di ruang kelas pendidikan umum (Lihat lingkungan terbatas paling tidak negara-negara dengan data pada http://www.ideadata.org). Belajar pada umumnya, perbaikan/remidial, dan pendidikan khusus ditingkatkan dengan memperhatikan perilaku dan keterampilan akademik yang dibutuhkan. Untuk alasan ini, adalah penting untuk memasukkan intervensi yang diarahkan pada perilaku terkait dengan pembelajaran sekolah seperti perhatian dan penyelesaian pekerjaan jika pencegahan primer dan sekunder berjalan sukses. Beberapa program intervensi yang disajikan dalam edisi Jurnal Ketidakmampuan Belajar secara langsung dan eksplisit bercampur dengan masalah perilaku, meskipun beberapa melaporkan bahwa antara masalah perilaku dan hasil intervensi mempunyai korelasi (hubungan) yang penting.

Integrasi Pengaturan Layanan
Sebuah isu terakhir tentang tingkat intervensi adalah integrasi pengaturan di seluruh layanan. Metode yang digunakan untuk menilai kebutuhan dan kemajuan dalam intervensi primer dan sekunder mungkin atau mungkin tidak dilanjutkan pada tingkat ketiga (jika ada) dan pendidikan khusus. Hasil instruksi langsung bersama dengan evaluasi formatif (L. S. Fuchs & Fuchs, 1986; Kavale & Forness, 1999; misalnya, CBM ukuran kefasihan membaca lisan, ambisius tujuan, grafik hasil terhadap tujuan, memantau kemajuan, petunjuk atau tujuan perubahan berdasarkan hasil, penguatan untuk kemajuan) menghasilkan penuh standar deviasi yang mempengaruhi ukuran. Metode ini cukup esensial untuk keefektifan intervensi sekunder Tingkat 2 dan cenderung bermanfaat bagi anak-anak jika mereka melanjutkan selama penentuan kelayakan dan, jika perlu, dalam penempatan pendidikan khusus. Sebaliknya, beberapa alternatif untuk menentukan kelayakan, setelah intervensi sekunder Tingkat 2 tidak cukup didokumentasikan, pergeseran perhatian dari intervensi ke hipotetis internal anak menujukan bahwa jarang mempunyai implikasi yang signifikan untuk intervensi pendidikan khusus.

Identifikasi SLD Setelah Intervensi Primer dan Sekunder
Beberapa alternatif telah diusulkan dalam literatur untuk identifikasi SLD setelah intervensi sekunder Tingkat 2 telah dicoba. Ada konsensus dalam diskusi ini bahwa SLD melibatkan relatif prestasi rendah untuk teman sebaya meskipun kesempatan yang cukup untuk belajar dan SLD itu bukanlah karena sensorik gangguan atau cacat lainnya seperti retardasi mental. Pertanyaan yang belum terselesaikan adalah apa yang ditambahkan ke persyaratan ini. Alternatif yang berbeda-beda dari proposal untuk melanjutkan ketidaksesuaian kemampuan-prestasi saat ini dalam identifikasi SLD dengan upaya yang lebih besar ke arah pelaksanaan yang tepat bagi keadaan yang tertinggal dari praktek pengujian standar tradisional yang secara eksperimen ditentukan respon terhadap intervensi meliputi penilaian fungsional dan langkah-langkah langsung keterampilan dalam konteks alam (lihat Tabel 2). Perdebatan atas alternatif ini kemungkinan akan menjadi kuat, sebagai kepentingan yang sangat besar yang terlibat dengan kebijakan identifikasi SLD saat ini.

TABEL 2
Perbandingan Tradisional dan Pendekatan
Response-to-Intervention (RTI) /Respon-ke-Intervensi untuk Identifikasi Ketidakmampuan Belajar
Masalah

Proses dan ketidaksesuaian yang berat
RTI
Hubungan; identifikasi dan pengobatan
Hanya sedikit; tidak valid
Eksplisit; langkah dan perawatan sama
Pencegahan; identifikasi awal dan pengobatan
Identifikasi penundaan, tidak ada efek pencegahan
Pencegahan ditekankan dan dioperasionalkan; identifikasi melalui respon pengobatan
Langkah-langkah validitas
Lemah, korelasional
Kuat; eksperimental
Penerapan ilmu pengetahuan
Korelasional ilmu pengetahuan; hipotetis internal yang menghubungkan konstruk
Ilmu pengetahuan eksperimental; keputusan berdasarkan pada penentuan hasil anak secara empiris

IQ- perbedaan prestasi
Meskipun ketidaksesuaian kemampuan-prestasi telah dikritik dengan keras oleh beberapa sejumlah akademisi (misalnya Fletcher et al., 2002), beberapa akademisi terkemuka mempertahankan metode ini dan menganjurkan bahwa ditingkatkan melalui kriteria implementasi yang lebih tepat (misalnya, Kavale, 2002). Pelaksanaan kriteria pketidaksesuaian telah sangat variabel di seluruh negara (Reschly & Hosp, 2004). Selain itu para ilmuwan yang mempertahankan metode tradisional dalam artikel yang diterbitkan, ada banyak orang di lapangan yang tetap percaya bahwa indikator pokok SLD adalah sebuah ketidaksesuaian kemampuan-prestasi. Tidak mungkin bahwa pikiran yang sebenarnya percaya ini akan berubah dalam waktu dekat.
Kekurangan dalam ketidaksesuaian kemampuan-prestasi (tak stabil, tidak sah, dan menunggu-untuk-efek gagal) ada di luar pembahasan ini (Fletcher et al., 2002). Kebijakan federal mengenai penggunaan penyimpangan IQ-prestasi diidentifikasi SLD telah berubah secara dramatis (IDEA, 2004) dengan bahasa menurut undang-undang menyatakan bahwa “dinas pendidikan setempat tidak diperlukan untuk mempertimbangkan dengan seksama apakah anak mempunyai penyimpangan yang parah antara prestasi dan kemampuan intelektual”, yang diikuti oleh bahasa yang menyusulkan respon terhadap intervensi (RTI) sebagai alternatif yang boleh digunakan dalam suatu proses yang menentukan seorang anak untuk menanggapi ilmu pengetahuan, intervensi berbasis riset. Bahasa ini memiliki efek mengendalikan kebijaksanaan yang menetapkan persyaratan yang berkaitan dengan kawasan sekolah lokal, yaitu pemerintah federal dan negara. Ini tidak muncul untuk melarang kelanjutan dari kriteria penyimpangan kemampuan-prestasi oleh kawasan sekolah lokal jika mereka memilih untuk melakukannya. Selanjutnya, pendoman kebijakan mengenai penyimpangan kemungkinan besar akan muncul pada peraturan federal dan negara setelah peraturan IDEA sekarang tertunda diterbitkan. Tantangan besar untuk wilayah lokal memilih untuk tetap menggunakan penyimpangan IQ-prestasi untuk mengatasi masalah dengan stabilitas, berlakunya, bahaya, dan karena menunggu-untuk-akibat gagal.


Proses kognitif
Sebagai penulis dan penerbit dari kemampuan tes terstandarisasi telah mengamati meningkatnya kecaman/kritik atas penyimpangan/ketidaksesuaian kemampuan-prestasi ini, perubahan halus yang telah terjadi pada pengujian struktur dan pemasaran. Semua tes kemampuan meski saat ini telah membuat pernyataan bahwa langkah mereka umumnya mengalami gangguan intelektual dan karena itu berguna dalam penentuan penyimpangan kemampuan-prestasi, hampir semua sekarang mengakui sebagai langkah dalam proses kognitif. Mereka juga sangat menegaskan perlunya menilai proses kognitif dengan SLD (mengutip definisi SLD dalam IDEA), tetapi mengabaikan fakta bahwa kriteria klasifikasi SLD federal tidak pernah memerlukan penilaian proses kognitif. Semua menegaskan bahwa tes mereka adalah langkah yang benar dalam proses kognitif (Lihat klaim pemasaran dan penulis yang dibuat untuk Sistem Penilaian Kognitif [Naglieri & Das, 1997}, Kaufman Assessment Battery for Children-II [Kaufman & Kaufman, 2004], Stanford Binet V [Roid, 2003], dan Skala Intelegensi Wechsler untuk Anak-IV [Wechsler, 2003].
Tingginya taruhan yang melibatkan keputusan tentang apa yang dilakukan dalam identifikasi SLD diakui oleh penulis tes ini (Hale, Kaufman, Naglieri, & Kavale, 2004). Sebagai contoh, Alan Kaufman berkomentar,

Dengan hilangnya penyimpangan kemampuan-prestasi untuk penetapan ketidakmampuan belajar, bersama dengan yang lainnya, dan perubahan dalam definisi dan prosedur, nasib dari tes IQ tradisional dan melahirkan teori baru berbasis langkah kognitif serta sifat dasar dari kegiatan klinis secara umum tergantung pada keseimbangan.(Kaufman, 2004)

Kendala utama dari proses penetapan persyaratan proses kognitif sebagai komponen utama dalam identifikasi SLD adalah belum adanya penelitian menunjukkan (a) meningkatkan akurasi identifikasi SLD (b) kontrol yang wajar di atas kelaziman, (c) lebih efektif intervensi instruksional, atau (d) meningkatkan prediksi pada hasil yang penting. Selain itu isu-isu dasar reliabilitas dan validitas, yang tinggi derajat keragamannya dalam proses kognitif dan bisa diharapkan menjadi ciri khas dengan mayoritas besar siswa normal maupun dengan siswa yang rendah prestasinya yang mungkin dianggap untuk diagnosa SLD. Ada  atau tidak adanya keragaman dalam langkah proses kognitif, dan pernyataan bahwa kelemahan menjelaskan ketidakefektifan belajar dan bahwa kekuatan dapat digunakan untuk merancang intervensi yang efisien, penelitian ini tidak didukung oleh bukti (Fletcher & Reschly , 2004 , Vaughn & Linan-Thompson , 2003). Mengingat tingginya tingkat dasar variabilitas dari proses kognitif, sulit untuk melihat bagaimana pertimbangan dari langkah-langkah proses kognitif yang akan membatasi diagnosis SLD untuk beberapa kelompok khusus yang terpisah dari populasi umum yang rendah tingkat keberhasilan siswanya.

Perbedaan Intraindividual
Kemungkinan lain adalah fokus pada keragaman intraindividual antara langkah kognitif dan prestasi. Intraindividual, atau within-person, keragaman merupakan salah satu pondasi asli dari SLD (Kirk, tahun 1976), dan sering muncul dalam pembahasan mengenai SLD hari ini ( Kavale, tahun 2002). Saat ini negara bagian Louisiana menggunakan variasi ini dengani mengganti penyimpangan bidang prestasi dalam penyimpangan kemampuan-prestasi. SLD ini tercermin dalam kinerja yang lebih tinggi dalam satu atau lebih bidang prestasi dibanding dengan satu atau lebih bidang  di mana terdapat prestasi yang rendah.
            Beberapa masalah penyimpangan intraindividual sebagai penanda penting bagi SLD mencakup penentuan daerah yang termasuk dalam analisis (prestasi saja, prestasi ditambah daerah lain) dan di mana-mana tersebar variasi yang besar di wilayah berbeda yang biasanya berkembang di antara para mahasiswa dan pelajar dengan beberapa jenis gangguan (D. Fuchs, Fuchs, Tindal, & Deno, 1986, Hallahan & Kaufman, tahun 1977). Dengan kesimpulan yang tampaknya menghalangi keragaman intraindividual sebagai kriteria yang akan memisahkan siswa yang SLD dari anak-anak lain atau anak-anak dengan gangguan lain

Hasil penelitian kami menunjukkan suara lain dalam meningkatnya chorus, mengungkapkan pandangan bahwa saat ini pelajar didefinisikan sebagai karakteristik secara khas gagal untuk membedakan antara populasi subkelompok cacat ringan. Selain itu, temuan saat ini menunjukkan bahwa keragaman kinerja tidak hanya berhasil membedakan antara anak-anak cacat ringan, juga tidak dapat diandalkan atau gagal untuk membedakan antara  LD sedang dan biasanya mencapai murid. (D. Fuchs et al. , tahun 1986, p. 87)

Menambahkan sebuah kebutuhan keberagaman intraindividual adalah konsisten dengan konsepsi tradisional SLD; namun, ini hanya akan melakukan sedikit untuk meningkatkan identifikasi SLD atau meningkatkan efektivitas intervensi. Sebagian besar anak-anak dan orang dewasa menunjukkans statistik yang signifikan, dan dalam kebanyakan kasus, pada kenyataannya perbedaan secara signifikan antara bidang prestasi dan kemampuan. Dan keragaman within-person dengan prestasi yang rendah kemungkinan akan sedikit melakukan untuk membedakan siswa yang SLD dari siswa lain.
Kekuatan, Pemecahan Masalah Individual
Pemecahan masalah individual saat ini diterapkan sebagai suatu alternatif di beberapa negara bagian dan LEAs sebagai cara untuk mengidentifikasi SLD. Proses ganda dari pemecahan masalah Tingkat 3 adalah untuk mengatasi masalah belajar dan tingkah laku, sehingga mencegah kebutuhan pendidikan khusus, atau, tergantung pada hasilnya, dan menentukan kelayakan untuk pendidikan khusus. Kriteria pemecahan masah untuk SLD meliputi (a) perbedaan besar dari kinerja tingkat sebaya dalam satu atau lebih terkait domain prestasi yang menggunakan perbandingan sebaya, dan ada tanda penentu terhadap risiko penilaian yang tinggi; (b) rendahnya tingkat belajar dibandingkan dengan sebaya meskipun berkualitas tinggi intervensinya dalam prestasi dan, jika tepat, perilaku, berpedoman pada masalah definisi perilaku, data tingkat normal, desain dan pelaksanaan secara ilmiah berdasarkan intervensi dengan integritas yang baik, tujuan ambisius, memantau kemajuan dengan evaluasi formatif, dan evaluasi hasil; (c) faktor pengecualian dioperasikan; (d) mendokumentasikan dampak yang merugikan dalam kinerja pendidikan: dan (e) mendokumentasikan kebutuhan khusus yang dirancang untuk pengajaran.
Tingkat ketiga pemecahan masalah menambahkan intervensi sekunder Tingkat 2 dengan memberikan intervensi individual yang fokus pada prestasi dan perilaku. Fokus intervensi individual ini adalah untuk meningkatkan intensitas mereka dan ketepatan yang tinggi. Selain itu, bagi anak yang kuat, pemecahan masalah individual ini belum cukup, banyak desain intervensi pendidikan khusus yang efektif yang telah berlangsung (definisi perilaku, ukuran yang tepat, grafik, dan lain sebagainya). Karena itu, pemecahan masalah ini berguna dalam penentuan kelayakan dan desain pendidikan khusus, mencapai integrasi yang erat antara semua tingkatan intervensi.
Pilihan problem-solving (pemecahan masalah) juga kontroversial. Para kritikus mengklaim bahwa itu tidak mencerminkan sifat asli SLD, tidak mungkin untuk menerapkan dengan integritas yang baik, dan dapat menyebabkan kematian dari membangun diagnostik SLD itu (misalnya, D. Fuchs , Mock, Morgan, & Young, 2003), peristiwa yang sangat tidak mungkin mengingat status SLD saat ini. Implementasi adalah masalah signifikan. Sebuah pendekatan pemecahan masalah, dibandingkan dengan pilihan lain, yang paling banyak membutuhkan perubahan dari praktek saat ini dan upaya terbesar melanjutkan pendidikan. Penggunaan pendoman protokol pemecahan masalah telah membuktikan kesuksesannya (Reschly & Grimes, 1991), meminjamkan kredibilitas untuk kelayakan pilihan problem-solving.

Ringkasan
Keputusan mengenai identifikasi SLD dalam waktu dekat ini tidak terselesaikan, dan beberapa pilihan memiliki pendukung yang kuat. Konsensus belum muncul, dan keputusan dalam waktu dekat akan lebih kontroversial. Tidak adanya konsensus membuat lebih mungkin bahwa bimbingan dari pemerintah federal dan aturan negara bagian akan ambigu, dengan banyak variasi negara dan daerah. Dengan kata lain, keberagaman yang sangat besar saat ini dalam kebijakan SLD lembaga pendidikan negara bagian dan praktek-praktek yang digambarkan oleh Reschly dan Hosp (2004) kemungkinan akan berlanjut.

Tentang Penulis

Daniel J. Reschly, Phd, adalah seorang Profesor Pendidikan dan Psikologi dan Ketua Departemen Pendidikan Khusus, Perguruan Tinggi Peabody, Universitas Vanderbilt. Ia adalah co-directorPusat Penelitian Nasional dalam Ketidakmampuan Belajar dan melakukan penelitian dalam identifikasi ketidakmampuan, ketidakseimbangan, dan masalah professional sekolah psikologi. Alamat: Daniel J. Reschly, Box 328 Peabody College, Vanderbilt University, Nashville, TN 37203; e-mail: dan .reschly@vanderbilt.edu.

oleh (akbar.dominika dan sant)





Followers

pengunjung

Seputar Kampus FIP