Disusun oleh:
Triana
Purnami dkk
Teori Psikososial tentang Perkembangan
Seperti
telah dikemukakan, perkembangan berlangsung melalui tahap-tahap, seluruhnya ada
delapan tahap menurut jadwal yang dikemukakan Erikson. Empat tahap yang pertama terjadi pada masa bayi dan masa
kanak-kanak, tahap kelima pada masa adolesen, dan ketiga tahap yang terakhir
pada tahun-tahun dewasa dan usia tua. Dalam tulisan-tulisan Erikson, tekanan
khusus diletakkan pada masa adolesen karena pada masa tersebut merupakan
peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Apa yang terjadi pada tahap ini
sangat penting bagi kepribadian dewasa. Identitas,
krisis-krisis identitas, dan kekacauan identitas merupakan konsep-konsep Erikson
yang sangat terkenal
Harus
dicatat bahwa tahap-tahap yang berurutan itu tidak ditetapkan menurut suatu
jadwal kronologis yang tepat. Erikson berpendapat bahwa tiap anak memiliki
jadwal waktunya sendiri, karena itu akan menyesatkan kalau ditentukan lama
berlangsungnya secara eksak masing-masing untuk setiap tahap. Lagi pula, setiap
tahap tidak dilewati dan kemudian ditinggalkan. Sebaliknya masing-masing tahap
ikut serta dalam membentuk seluruh kepribadian.
Tahap Identitas vs Kekacauan Identitas
Selama
masa adolesen, individu mulai merasakan suatu perasaan tentang identitasnya
sendiri, perasaan bahwa ia adalah manusia unik, namun siap untuk memasuki suatu
peranan yang berarti di tengah masyarakat, entah peranan ini bersifat
menyesuaikan diri atau bersifat memperbaaharui. Sang pribadi mulai menyadari
sifat-sifat yang melekat pada dirinya sendiri, seperti aneka kesukaan dan
ketidaksukaannya, tujuan-tujuan yang dikejarnya di masa depan, kekuatan dan
hasrat untuk mengontrol nasibnya sendiri. Inilah masa dalam kehidupan ketika
orang ini menentukan siapakah ia pada saat sekarang dan ingin menjadi apakah ia
dimasa yang akan datang. Inilah masa untuk menbuat rencana-rencana karier.
Daya
penggerak batin dalam rangka pembentukan identitas ialah ego, ego dalam
aspek-aspeknya yang sadar maupun tak sadar. Pada tahap ini ego memiliki
kapasitas untuk memilih dan mengintegrasikan bakat-bakat, kemampuan kemampuan,
dan keterampilan- keterampilan dalam melakukan identifikasi dengan orang-orang
yang sependapat, dan dalam melakukan adaptasi dengan lingkungan sosial, serta
menjaga pertahanan-pertahanannya terhadap berbagai ancaman dan kecemasan,
karena ia telah mampu memutuskan
impuls-impuls, kebutuhan-kebutuhan, dan peranan-peranan manakah yang paling
cocok dan efektif. Semua ciri yang dipilih oleh ego ini dihimpun dan diintegrasikan
oleh ego serta membentuk identitas psikososial seseorang.
Karena
peralihan yang sulit dari masa kanak-kanak ke masa dewasa di satu pihak dan
karena kepekaan terhadap perubahan sosial dan historis di lain pihak, maka
selama tahap pembentukan identitas seorang remaja, mungkin merasakan penderitaan
paling dalam dibandingkan pada masa-masa lain akibat kekacauan peranan peranan
atau kekacauan identitas. Keadaan ini dapat menyebabkan orang merasa terisolasi,
hampa, cemas, dan bimbang. Remaja merasa bahwa ia harus membuat
keputusan-keputusan penting tetapi belum sangguap melakukannya. Para remaja
mungkin merasa bahwa mayarakat memaksa mereka untuk membuat keputusan-keputusan
sehingga mereka justru menjadi semakin menentang. Mereka sangat peka terhadap
cara orang lain memandang mereka, dan menjadi mudah tersinggung dan merasa
malu.
Selama
kekacauan identitas, remaja mungkin merasa bahwa ia mundur bukannya maju, dan
pada kenyataannya, suatu kemunduran periodis ke sifat kanak-kanak kiranya
merupakan suatu alternatif menyenangkan terhadap keterlibatan kompleks dalam
masyarakat orang dewasa yang dituntut darinya. Tngkah laku remaja tidak konsisten
dan tidak dapat diprediksikan selama masa kacau ini. Pada suatu saat ia menutup
diri terhadap siapapun karena takut ditolak, dikecewakan, atau disesatkan. Pada
saat berikutnya ia mungkin ingin menjadi pengikut, pencinta, atau murid dengan
tidak menghilangkan konsekuensi-konsekuensi dengan komitmennya itu.
Istilah
krisis identitas menunjuk pada perilakunya mengatasi kegagalan yang bersifat
sementara itu untuk selanjutnya membentuk suatu identitas yang stabil, atau
sebaliknya suatu kekacauan peranan. Masing-masing tahap yang berturut-turut itu
pada kenyataanya, merupakan suatu potensi krisis yang disebabkan karena
terjadinya perubahan yang radikal dalam perspektif. Akan tetapi, agaknya secara
istimewa krisis identitas adalah berbahaya karena seluruh masa depan individu
generasi berikutnya sepertinya tergantung pada penyelesaian krisis ini.
Yang
juga sangat menggangu adalah perkembangannya identitas negatif, yakni perasaan
memiliki sekumpulan sifat yang secara potensial buruk atau tidak berharga. Cara
yang sangat lazim dipakai orang untuk mengatasi identitas negatif ialah
memproyeksikan sifat-sifat yang buruk itu kepada orang lain. “Mereka lah yang
buruk, bukan saya”. Proyeksi serupa itu banyak mengakibatkan patologi sosial
termasuk prasangka dan kejahatan serta diskriminasi terhadap berbagai kelompok
orang, tetapi proyeksi juga merupakan suatu bagian penting dari kesiapan remaja
untuk melibatkan diri dalam suatu ideologi. Pada masa remaja ini nilai
kesetiaan berkembang kendati ia kini secara seksual matang dan banyak hal
bertanggung jawab, namun remaja belum cukup siap untuk menjaga orang tua,
keseimbangan ego dihadapkan pada situasi yang serba sulit di satu pihak remaja
diharapkan mengasimilasikan diri kedalam pola hidup orang dewasa tetapi di lain
pihak remaja belum memiliki kebebasan seksual seperti orang dewasa. Tingkah
laku remaja menjadi berkisar secara silih berganti antara tindakan-tindakan
impulsif, kurang pertimbangan, sporadik, dan tindakan-tindakan yang
dikendalikan secara kompulsif. Akan tetapi, selama masa yang sulit ini remaja
mendambakan pengetahuan batin dan pemahaman tentang dirinya sendiri serta
berusaha merumuskan sekumpulan nilai-nilai. Rangkaian nilai-nilai khusus yang
muncul ialah apa yang oleh Erikson disebut kesetiaan. ”Kesetiaan adalah
kemampuan untuk mempertahankan loyalitas yang diikrarkan dengan bebas meskipun
terdapat kontradiksi-kontradiksi yang terletak diantara sistem-sistem nilai”
(1964, hal 125).
Kesetiaan
adalah pondasi atas dasar mana terbentuk suatu perasaan identitas yang bersifat
kontinyu. Substansi kesetiaan diperoleh melalui “konfirmasi” oleh
ideologi-ideologi dan kebenaran-kebenaran, dan juga melalui afirmasi dari
kawan-kawan. Perkembangan identitas berpangkal pada kebutuhan inheren manusia
untuk merasa bahwa dirinya tergolong pada jenis orang-orang tertentu atau
“khusus”. Misalnya, remaja perlu mengetahui bahwa ia tergolong pada suatu
kelompok etnik atau kelompok agama khusus dimana ia dapat berpartisipasi dalam
adat-istiadat, ritual-ritual atau ideologi-ideologinya, atau bahwa ia lebih
suka berpartisipasi dalam gerakan-gerakan yang bertujuan untuk mengubah atau
memperbaharui struktur sosial. Identitas anak remaja menentukan batasan
lingkungannya.
Ritualisasi
yang menyertai tahap adolesen ialah ritualisasi ideologi. Ideologi merupakan
solidaritas keyakinan yang menginkorporasikan ritualisasi-ritualisasi dari
tahap-tahap sebelumnya menjadi sekumpulan ide dan cita-cita yang saling
berkaitan. Keterasingan yang disebabkan karena tidak dimilikinya suatu ideologi
yang terintegrasi adalah kekacauan identitas.
Penyimpangan
ritualisasi ideologi yang mungkin terjadi adalah totalisme. Totalisme ialah
preokupasi fanatik dan eksklusif dengan apa yang kelihatannya sungguh-sungguh
benar atau ideal.
Keintiman vs Isolasi
Dalam tahap ini orang-orang dewasa
awal siap dan ingin menyatukan identitasnya dengan orang lain. Mereka mendambakan
hubungan-hubungan yang intim, akrab, dan persaudaraan, serta siap mengembangkan
daya-daya yang dibutuhkan untuk memenuhi komitmen-komitmen ini meskipun mereka
mungkin harus berkorban. Sekarang untuk pertama kalinya dalam kehidupan mereka,
anak-anak muda itu dapat mengembangkan genitalitas seksual yang sesungguhnya
dalam hubungan timbal balik dengan mitra yang dicintai. Kehidupan seks dalam tahap-tahap
sebelumnya terbatas pada menemukan identitas seksual dan berjuang menjalin
hubungan-hubungan akrab yang bersifat sementara. Agar memiliki arti sosial yang
bersifat menetap maka genitalitas membutuhkan seseorang untuk dicintai dan
diajak mengadakan hubungan-hubungan seksual, dan dengan siapa seseorang dapat
berbagi rasa dalam suatu hubungan kepercayaan. Bahaya pada tahap keintiman ini
adalah isolasi, yakni kecenderungan menghindari hubungan karena orang tidak mau
melibatkan diri dalam keintiman. Suatu perasaan isolasi yang bersifat sementara
memang membutuhkan pilihan-pilihan, tetapi tentu saja juga dapat menimbulkan
masalah-masalah kepribadian berat.
Nilai cinta muncul selama tahap
perkembangan keintiman. Nilai dominan yang bersifat universal ini, yakni cinta,
muncul dalam bentuk selama tahap-tahap sebelumnya, mulai dengan cita bayi
terhadap ibunya, kemudian cinta birahi pada remaja, dan akhirnya cinta yang
diungkapkan dalam bentuk kepedulian terhadap orang-orang lain pada orang
dewasa. Meskipun cinta sudah nampak dalam tahap-tahap sebelumnya, namun
perkembangan keintiman yang sejati hanya muncul setelah menginjak usia remaja.
Orang-orang dewasa awal kini mampu melibatkan diri dalam hubungan bersama
dimana mereka saling berbagi hidup dengan seorang mitra yang intim. Erikson
menulis, “maka, cinta adalah pengabdian timbal balik yang mengalahkan
antagonisme-antagonisme yang melekat dalam fungsi yang terpecah” (1964, hal.
129). Meskipun identitas individual seseorang dipertahankan dalam suatu
hubungan keintiman bersama, namun kekuatan egonya tergantung pada kesiapan
mitranya untuk berbagi peran dalam membesarkan anak-anak, berbagi
produktivitas, dan berbagi pandangan tentang hubungan mereka.
Ritualisasi pada tahap ini ialah
afiliatif, yakni berbagi bersama dalam pekerjaan, persahabatan, dan cinta. Ritualismenya,
yakni elitisme, terungkapkan lewat pembentukan kelompok-kelompok eksklusif yang
merupakan suatu bentuk narsisme komunal.
Generativitas vs Stagnasi
Ciri tahap generativitas adalah perhatian
terhadap apa yang dihasilkan keturunan, produk-produk, ide-ide, dsb serta
pembentukan dan penetapan garis-garis pedoman untuk generasai-generasi
mendatang. Transmisi nilai-nilai sosial ini diperlukan untuk memperkaya aspek
psikoseksual dan aspek psikososial kepribadian. Apabila generativitas lemah
atau tidak diungkapkan maka kepribadian akan mundur, dan mengalami kemiskinan
serta stagnasi.
Nilai pemeliharaan berkembang dalam
tahap ini. Pemeliharaan terungkap dalam kepedulian seseorang kepada orang lain,
dalam keinginan memberikan perhatian pada mereka yang membutuhkannya serta
berbagi dan membagi pengetahuan dan pengalaman dengan mereka. Ini tercapai
lewat kegiatan membesarkan anak dan mengajar, memberi contoh, dan mengawasi.
Manusia sebagai suatu spesies memiliki kebutuhan inheren untuk mengajar, suatu
kebutuhan yang dimiliki oleh semua orang dalam setiap bidang pekerjaan. Manusia
mencapai kepuasan dan pemenuhan dengan mengajar anak-anak, orang-orang dewasa,
bawahan-bawahan, bahkan binatang-binatang. Fakta-fakta, logika, dan
kebenaran-kebenaran terpelihara dari generasi ke generasi berkat semangat
mengajar ini. Aktivitas memelihara dan mengajar menjamin kelangsungan hidup
kebudayaan, lewat pengulangan atas adat istiadat, ritual-ritual, dan
legenda-legendanya. Kemajuan setiap kebudayaan ada di tangan orang-orang yang
memiliki cukup kerelaan untuk mengajar dan menjalani kehidupan yang patut
dicontoh. Aktivitas mengajar juga menumbuhkan dalam diri manusia suatu perasaan
vital bahwa mereka dibutuhkan oleh orang lain, suatu perasaan bahwa diri mereka
berarti, yang membuat mereka tidak terlalu asyik dan terbenam dalam diri mereka
sendiri. Selama masa kehidupan seseorang banyak pengalaman dan pengetahuan
berhasil dikumpulkan, seperti pendidikan, cinta, pekerjaan, filsafat, dan gaya
hidup. Semua aspek kehidupan ini harus dipelihara dan dilindungi, sebab semua
itu merupakan pengalaman-pengalaman yang berharga. Pengalaman-pengalam ini
dipelihara dengan cara diteruskan dan diberikan kepada orang lain.
“Pemeliharaan adalah kepedulian yang
semakin luas terhadap apa yang telah dihasilkan oleh cinta, karena dipandang
perlu, atau semata-mata karena kebetulan; pemeliharaan mengatasi ambivalensi
yang melekat pada rasa berkewajiban yang tak dapat diubah. (1964, hal. 131).”
Ritualisasi dari tahap ini ialah
sesuatu yang generasional, yakni ritualisasi peranan orang tua, produksi,
pengajaran, penyembuhan dst, peranan-peranan dengan mana orang dewasa bertindak
sebagai penerus nilai-nilai ideal pada kaum muda.
Penyimpangan-penyimpangan dari
ritualisasi generasional tercermin dalam ritualisme autoritisme. Autoritisme
adalah pencaplokan atau perongrongan kekuasaan yang bertentangan dengan
pemeliharaan.
Integritas vs Keputusasaan
Tahap terakhir dalam proses
epigenetis perkembangan disebut integritas. Integritas paling tepat dilukiskan
sebagai suatu keadaan yang dicapai seseorang setelah memelihara benda-benda dan
orang-orang, produk-produk, dan ide-ide, dan setelah berhasil menyesuaikan diri
dengan keberhasilan dan kegagalan dalam hidup. Lewat prestasi-prestasi semacam
itu individu dapat menikmati keuntungan dari ketujuh tahap kehidupan yang
pertama, dan merasa bahwa kehidupan mereka memiliki sejenis susunan dan makna
dalam suatu susunan yang lebih besar. Meskipun orang yang telah mencapai suatu
keadaan integritas menyadari berbagai gaya hidup orang lain, namun dengan
bangga ia memelihara gaya hidupnya sendiri dan mempertahankannya dari berbagai
potensi ancaman. Dengan demikian gaya hidup dan integritas kebudayaan menjadi “warisan jiwa”.
Lawan integritas adalah keputusasaan
tertentu menghadapi perubahan siklus kehidupan individu terhadap kondisi sosial
dan historis, belum lagi kefanaan hidup dihadapan kematian. Ini dapat memperburuk
perasaan bahwa kehidupan ini tak berarti, bahwa ajal sudah dekat- ketakutan
akan dan bahkan keinginan untuk mati. Sekarang waktunya sudah terlalu singkat
untuk berbalik dan mencoba gaya hidup yang lain.
Kebijaksanaan adalah nilai yang
berkembang dari hasil pertemuan antara integritas dan keputusasaan dalam tahap
kehidupan yang terakhir ini. Kegiatan fisik dan mental dalam kehidupan
sehari-hari menjadi lamban pada tahap terakhir dalam siklus kehidupan ini.
Kebijaksanaan yang sederhana menjaga dan memberikan integritas pada
pengalaman-pengalaman yang terkumpul dari tahun-tahun silam. “Maka,
kebijaksanaan merupakan keprihatinan objektif terhadap kehidupan itu sendiri,
dihadapan kematian itu sendiri.” (1964, hal. 133).
Bahwa orang-orang yang sudah uzur
kurang mampu beradaptasi dengan situasi yang berubah tidak menghalangi sejenis
kejenakaan dan keingintahuan tertentu yang memungkinkan pembulatan pengalaman,
sebagaimana diperoleh dari pengetahuan dan penilaian selama bertahun-tahun.
Mereka yang berada pada tahap kebijaksanaan dapat menyajikan kepada generasi
yang lebih muda suatu gaya hidup yang bercirikan suatu perasaan tentang
keutuhan dan keparipurnaan. Perasaan tentang keutuhan ini dapat meniadakan
perasaan putus asa dan muak, serta perasaan selesai atau habis manakala situasi
kehidupan ini berlalu. Perasaan tentang keutuhan juga akan mengurangi perasaan
tak berdaya dan ketergantungan yang biasa menandai akhir kehidupan.
Ritualisasi usia lanjut dapat
disebut integral; ini tercermin dalam kebijaksanaan dalam segala zaman. Sebagai
ritualisme yang padanannya, Erikson mengusulkan sapientisme: “kedunguan dengan
berpura-pura bijaksana”
Haruskah
setiap orang melewati semua pentahapan ini?
Kadang kita mendengar
bahwa jika tidak mencapai ukuran keberhasilan salah satu pentahapan Erikson,
kita tidak bisa beranjak ke tahap berikutnya. Ini keliru. Di dalam teori
Erikson, jika hidupnya cukup lama, orang harus melewati semua tahapan ini.
Alasannya adalah kekuatan yang mendorong kita melangkah maju dari tahap ke
tahap sangat besar untuk bisa ditahan: pendewasaan biologis dan ekspektasi
sosial. Kekuatan ini terus mendorong kita berjalan menurut jumlah waktu
tertentu, tak peduli kita sudah berhasil di tahap sebelumnya atau tidak.
Jadi
apabila seorang anak laki-laki belum tuntas menguasai seluruh ras kegigihan di
tahap industri (tahap keempat), maka ketika usianya genap mencapai masa
pubertas (tahap kelima), dia tetap harus bergulat dengan masalah identitas di
tahap baru ini meskipun belum siap menghadapinya.perubahan-perubahan biologis
membuat dia menemukan dirinya bermasalah dengan perasaan-perasaan seksual yang
mencuat dari perubahan tubuh yang sangat cepat. Pada waktu yang bersamaan,
tekanan-tekanan sosial turut memaksanya mengatasi masalah kencan dan memikirkan
pekerjaan apa yang akan diambilnya di masa depan. Di lain pihak, kondisi anak
ini sedikit mengganggu masyarakat karena ternyata dia masih merasa tidak pasti
dengan kemampuan-kemampuannya sendiri. Masyarakat memiliki jadwalnya sendiri,
dan ketika si anak menginjak usia 20 tahun atau lebih, mereka mulai menekan dia
untuk memutuskan sebuah karir. Sementara si anak lagi-lagi menemukan dirinya
berkonfrontasi dengan tahapan baru, dan semuanya terjadi secara berurutan.
Setiap
orang kalau begitu harus melewati semua tahapan, entah dia harus berhasil
melewati tahap sebelumnya atau tidak. Jadi yang benar menurut Erikson adalah
keberhasilan di tahap sebelumnya mempengaruhi peluang keberhasilan ditahap sebelumnya. Contohnya
anak yang dapat mengembangkan pengertian yang teguh mengenai rasa percaya
kepada pengasuhan dapat merasa cukup kuat untuk meninggalkan mereka dan
mengeksplorasi sendiri lingkungannya. Sebaliknya, anak yang kekuranngan rasa
percaya ini ─ yang tidak ditinggalkan pengasuhnya ─ kurang begitu sanggup
mengembangkan rasa otonomi. (jika dilihat dari sudut pandang yanng berbeda,
anak sendirilah sebenarnya yang mengembangkan keseimbangan rasa percaya yang
kemudian mendorongnya menjelajahi dunia dengan penuh harapan dan antisipasi, dan
secara bersemangat mengetes kekuatan-kekuatan baru dari suatu tindakan yang
independen). Dengan kata lain, hasil setiap tahapan mempengaruhi peluang hasil
positif di tahap berikutnya. Daya-daya pendewasaan biologis dan program sosial
tidak akan pernah berhenti memaksa anak menghadapi masalah-masalah baru di
setiap tahapan, tak peduli hasilnya.
Konsepsi Baru tentang Ego
Sebagaimana tampak dalam pembicaraan
sebelumnya tentang tahap-tahap kehidupan yang dikemukakan Erikson, ia telah
memberikan pada ego sejumlah kualitas yang jauh melampaui konsepsi
psikoanalitik pendahulu tentang ego. Kualitas seperti kepercayaan dan
pengharapan, otonomi dan kemauan, kerajinan dan kompetensi, identitas dan
kesetiaan, keakraban dan cinta, generativitas dan pemeliharaan, serta
integritas, meski diakui sebagai kualitas manusiawi, namun biasanya tidak
dibahas dalam literatur psikoanalitik. Kalau toh disinggung, pembicaraan
biasanya berupa penelusuran kembali kualitas itu pada sumber-sumber di masa
kanak-kanak. Erikson mengejek tekanan yang eksklusif pada apa yang disebutnya
originologi atau reduksionisme menurut orang lain.
Erikson menyatakan bahwa ia
menyadari konotasi-konotasi idealistik pada kata-kata, seperti kepercayaan,
harapan, kesetiaan, keakraban, integritas, dst. Ia sengaja memilih kata-kata
itu karena kata tersebut dalam berbagai bahasa mengkonotasikan nilai-nilai
manusiawi universal yang baik dalam kebudayaan-kebudayaan primitif yang kuno
maupun dalam kehidupan modern mempertautkan tiga bidang hakiki satu sama lain,
yakni siklus kehidupan individu, urutan generasi dan struktur sosial dasar.
Ia berpendapat bahwa suatu identitas
harus berpijak pada tiga aspek kenyataan. Yang pertama adalah aspek
faktualitas, yakni universum fakta, data, dan teknik-teknik yang dapat diverifikasikan
dengan metode-metode observasi dan tenik-teknik kerja yang sedang berlaku
(1974, hal. 33). Kemudian terdapat kesadaran akan kenyataan yang juga disebut
universalitas karena ia menggabungkan yang praktis dan komplit ke dalam sejenis
visi tentang semesta. Aspek yang ketiga adalah aktualitas, yakni suatu cara
baru dalam berhubungan satu sama lai, menggiatkan dan memeperkuatkan satu sama
lain demi mencapai tujuan bersama (1974, hal. 33).
Daftar Pustaka
Crain,
William. 2007. Teori Perkembangan Edisi
Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar