Follow Me:

Teori Psikososial Erik H Erikson



Disusun oleh:
Triana Purnami dkk



Teori Psikososial tentang Perkembangan
Seperti telah dikemukakan, perkembangan berlangsung melalui tahap-tahap, seluruhnya ada delapan tahap menurut jadwal yang dikemukakan Erikson. Empat tahap yang  pertama terjadi pada masa bayi dan masa kanak-kanak, tahap kelima pada masa adolesen, dan ketiga tahap yang terakhir pada tahun-tahun dewasa dan usia tua. Dalam tulisan-tulisan Erikson, tekanan khusus diletakkan pada masa adolesen karena pada masa tersebut merupakan peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Apa yang terjadi pada tahap ini sangat penting bagi kepribadian dewasa. Identitas, krisis-krisis identitas, dan kekacauan identitas merupakan konsep-konsep Erikson yang sangat terkenal
Harus dicatat bahwa tahap-tahap yang berurutan itu tidak ditetapkan menurut suatu jadwal kronologis yang tepat. Erikson berpendapat bahwa tiap anak memiliki jadwal waktunya sendiri, karena itu akan menyesatkan kalau ditentukan lama berlangsungnya secara eksak masing-masing untuk setiap tahap. Lagi pula, setiap tahap tidak dilewati dan kemudian ditinggalkan. Sebaliknya masing-masing tahap ikut serta dalam membentuk seluruh kepribadian.
Tahap Identitas vs Kekacauan Identitas
Selama masa adolesen, individu mulai merasakan suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, perasaan bahwa ia adalah manusia unik, namun siap untuk memasuki suatu peranan yang berarti di tengah masyarakat, entah peranan ini bersifat menyesuaikan diri atau bersifat memperbaaharui. Sang pribadi mulai menyadari sifat-sifat yang melekat pada dirinya sendiri, seperti aneka kesukaan dan ketidaksukaannya, tujuan-tujuan yang dikejarnya di masa depan, kekuatan dan hasrat untuk mengontrol nasibnya sendiri. Inilah masa dalam kehidupan ketika orang ini menentukan siapakah ia pada saat sekarang dan ingin menjadi apakah ia dimasa yang akan datang. Inilah masa untuk menbuat rencana-rencana karier.
Daya penggerak batin dalam rangka pembentukan identitas ialah ego, ego dalam aspek-aspeknya yang sadar maupun tak sadar. Pada tahap ini ego memiliki kapasitas untuk memilih dan mengintegrasikan bakat-bakat, kemampuan kemampuan, dan keterampilan- keterampilan dalam melakukan identifikasi dengan orang-orang yang sependapat, dan dalam melakukan adaptasi dengan lingkungan sosial, serta menjaga pertahanan-pertahanannya terhadap berbagai ancaman dan kecemasan, karena ia telah mampu  memutuskan impuls-impuls, kebutuhan-kebutuhan, dan peranan-peranan manakah yang paling cocok dan efektif. Semua ciri yang dipilih oleh ego ini dihimpun dan diintegrasikan oleh ego serta membentuk identitas psikososial seseorang.
Karena peralihan yang sulit dari masa kanak-kanak ke masa dewasa di satu pihak dan karena kepekaan terhadap perubahan sosial dan historis di lain pihak, maka selama tahap pembentukan identitas seorang remaja, mungkin merasakan penderitaan paling dalam dibandingkan pada masa-masa lain akibat kekacauan peranan peranan atau kekacauan identitas. Keadaan ini dapat menyebabkan orang merasa terisolasi, hampa, cemas, dan bimbang. Remaja merasa bahwa ia harus membuat keputusan-keputusan penting tetapi belum sangguap melakukannya. Para remaja mungkin merasa bahwa mayarakat memaksa mereka untuk membuat keputusan-keputusan sehingga mereka justru menjadi semakin menentang. Mereka sangat peka terhadap cara orang lain memandang mereka, dan menjadi mudah tersinggung dan merasa malu.
Selama kekacauan identitas, remaja mungkin merasa bahwa ia mundur bukannya maju, dan pada kenyataannya, suatu kemunduran periodis ke sifat kanak-kanak kiranya merupakan suatu alternatif menyenangkan terhadap keterlibatan kompleks dalam masyarakat orang dewasa yang dituntut darinya. Tngkah laku remaja tidak konsisten dan tidak dapat diprediksikan selama masa kacau ini. Pada suatu saat ia menutup diri terhadap siapapun karena takut ditolak, dikecewakan, atau disesatkan. Pada saat berikutnya ia mungkin ingin menjadi pengikut, pencinta, atau murid dengan tidak menghilangkan konsekuensi-konsekuensi dengan komitmennya itu.
Istilah krisis identitas menunjuk pada perilakunya mengatasi kegagalan yang bersifat sementara itu untuk selanjutnya membentuk suatu identitas yang stabil, atau sebaliknya suatu kekacauan peranan. Masing-masing tahap yang berturut-turut itu pada kenyataanya, merupakan suatu potensi krisis yang disebabkan karena terjadinya perubahan yang radikal dalam perspektif. Akan tetapi, agaknya secara istimewa krisis identitas adalah berbahaya karena seluruh masa depan individu generasi berikutnya sepertinya tergantung pada penyelesaian krisis ini.
Yang juga sangat menggangu adalah perkembangannya identitas negatif, yakni perasaan memiliki sekumpulan sifat yang secara potensial buruk atau tidak berharga. Cara yang sangat lazim dipakai orang untuk mengatasi identitas negatif ialah memproyeksikan sifat-sifat yang buruk itu kepada orang lain. “Mereka lah yang buruk, bukan saya”. Proyeksi serupa itu banyak mengakibatkan patologi sosial termasuk prasangka dan kejahatan serta diskriminasi terhadap berbagai kelompok orang, tetapi proyeksi juga merupakan suatu bagian penting dari kesiapan remaja untuk melibatkan diri dalam suatu ideologi. Pada masa remaja ini nilai kesetiaan berkembang kendati ia kini secara seksual matang dan banyak hal bertanggung jawab, namun remaja belum cukup siap untuk menjaga orang tua, keseimbangan ego dihadapkan pada situasi yang serba sulit di satu pihak remaja diharapkan mengasimilasikan diri kedalam pola hidup orang dewasa tetapi di lain pihak remaja belum memiliki kebebasan seksual seperti orang dewasa. Tingkah laku remaja menjadi berkisar secara silih berganti antara tindakan-tindakan impulsif, kurang pertimbangan, sporadik, dan tindakan-tindakan yang dikendalikan secara kompulsif. Akan tetapi, selama masa yang sulit ini remaja mendambakan pengetahuan batin dan pemahaman tentang dirinya sendiri serta berusaha merumuskan sekumpulan nilai-nilai. Rangkaian nilai-nilai khusus yang muncul ialah apa yang oleh Erikson disebut kesetiaan. ”Kesetiaan adalah kemampuan untuk mempertahankan loyalitas yang diikrarkan dengan bebas meskipun terdapat kontradiksi-kontradiksi yang terletak diantara sistem-sistem nilai” (1964, hal 125).
Kesetiaan adalah pondasi atas dasar mana terbentuk suatu perasaan identitas yang bersifat kontinyu. Substansi kesetiaan diperoleh melalui “konfirmasi” oleh ideologi-ideologi dan kebenaran-kebenaran, dan juga melalui afirmasi dari kawan-kawan. Perkembangan identitas berpangkal pada kebutuhan inheren manusia untuk merasa bahwa dirinya tergolong pada jenis orang-orang tertentu atau “khusus”. Misalnya, remaja perlu mengetahui bahwa ia tergolong pada suatu kelompok etnik atau kelompok agama khusus dimana ia dapat berpartisipasi dalam adat-istiadat, ritual-ritual atau ideologi-ideologinya, atau bahwa ia lebih suka berpartisipasi dalam gerakan-gerakan yang bertujuan untuk mengubah atau memperbaharui struktur sosial. Identitas anak remaja menentukan batasan lingkungannya.
Ritualisasi yang menyertai tahap adolesen ialah ritualisasi ideologi. Ideologi merupakan solidaritas keyakinan yang menginkorporasikan ritualisasi-ritualisasi dari tahap-tahap sebelumnya menjadi sekumpulan ide dan cita-cita yang saling berkaitan. Keterasingan yang disebabkan karena tidak dimilikinya suatu ideologi yang terintegrasi adalah kekacauan identitas.
Penyimpangan ritualisasi ideologi yang mungkin terjadi adalah totalisme. Totalisme ialah preokupasi fanatik dan eksklusif dengan apa yang kelihatannya sungguh-sungguh benar atau ideal.

Keintiman vs Isolasi
            Dalam tahap ini orang-orang dewasa awal siap dan ingin menyatukan identitasnya dengan orang lain. Mereka mendambakan hubungan-hubungan yang intim, akrab, dan persaudaraan, serta siap mengembangkan daya-daya yang dibutuhkan untuk memenuhi komitmen-komitmen ini meskipun mereka mungkin harus berkorban. Sekarang untuk pertama kalinya dalam kehidupan mereka, anak-anak muda itu dapat mengembangkan genitalitas seksual yang sesungguhnya dalam hubungan timbal balik dengan mitra yang dicintai. Kehidupan seks dalam tahap-tahap sebelumnya terbatas pada menemukan identitas seksual dan berjuang menjalin hubungan-hubungan akrab yang bersifat sementara. Agar memiliki arti sosial yang bersifat menetap maka genitalitas membutuhkan seseorang untuk dicintai dan diajak mengadakan hubungan-hubungan seksual, dan dengan siapa seseorang dapat berbagi rasa dalam suatu hubungan kepercayaan. Bahaya pada tahap keintiman ini adalah isolasi, yakni kecenderungan menghindari hubungan karena orang tidak mau melibatkan diri dalam keintiman. Suatu perasaan isolasi yang bersifat sementara memang membutuhkan pilihan-pilihan, tetapi tentu saja juga dapat menimbulkan masalah-masalah kepribadian berat.
            Nilai cinta muncul selama tahap perkembangan keintiman. Nilai dominan yang bersifat universal ini, yakni cinta, muncul dalam bentuk selama tahap-tahap sebelumnya, mulai dengan cita bayi terhadap ibunya, kemudian cinta birahi pada remaja, dan akhirnya cinta yang diungkapkan dalam bentuk kepedulian terhadap orang-orang lain pada orang dewasa. Meskipun cinta sudah nampak dalam tahap-tahap sebelumnya, namun perkembangan keintiman yang sejati hanya muncul setelah menginjak usia remaja. Orang-orang dewasa awal kini mampu melibatkan diri dalam hubungan bersama dimana mereka saling berbagi hidup dengan seorang mitra yang intim. Erikson menulis, “maka, cinta adalah pengabdian timbal balik yang mengalahkan antagonisme-antagonisme yang melekat dalam fungsi yang terpecah” (1964, hal. 129). Meskipun identitas individual seseorang dipertahankan dalam suatu hubungan keintiman bersama, namun kekuatan egonya tergantung pada kesiapan mitranya untuk berbagi peran dalam membesarkan anak-anak, berbagi produktivitas, dan berbagi pandangan tentang hubungan mereka.
            Ritualisasi pada tahap ini ialah afiliatif, yakni berbagi bersama dalam pekerjaan, persahabatan, dan cinta. Ritualismenya, yakni elitisme, terungkapkan lewat pembentukan kelompok-kelompok eksklusif yang merupakan suatu bentuk narsisme komunal.
Generativitas vs Stagnasi
            Ciri tahap generativitas adalah perhatian terhadap apa yang dihasilkan keturunan, produk-produk, ide-ide, dsb serta pembentukan dan penetapan garis-garis pedoman untuk generasai-generasi mendatang. Transmisi nilai-nilai sosial ini diperlukan untuk memperkaya aspek psikoseksual dan aspek psikososial kepribadian. Apabila generativitas lemah atau tidak diungkapkan maka kepribadian akan mundur, dan mengalami kemiskinan serta stagnasi.
            Nilai pemeliharaan berkembang dalam tahap ini. Pemeliharaan terungkap dalam kepedulian seseorang kepada orang lain, dalam keinginan memberikan perhatian pada mereka yang membutuhkannya serta berbagi dan membagi pengetahuan dan pengalaman dengan mereka. Ini tercapai lewat kegiatan membesarkan anak dan mengajar, memberi contoh, dan mengawasi. Manusia sebagai suatu spesies memiliki kebutuhan inheren untuk mengajar, suatu kebutuhan yang dimiliki oleh semua orang dalam setiap bidang pekerjaan. Manusia mencapai kepuasan dan pemenuhan dengan mengajar anak-anak, orang-orang dewasa, bawahan-bawahan, bahkan binatang-binatang. Fakta-fakta, logika, dan kebenaran-kebenaran terpelihara dari generasi ke generasi berkat semangat mengajar ini. Aktivitas memelihara dan mengajar menjamin kelangsungan hidup kebudayaan, lewat pengulangan atas adat istiadat, ritual-ritual, dan legenda-legendanya. Kemajuan setiap kebudayaan ada di tangan orang-orang yang memiliki cukup kerelaan untuk mengajar dan menjalani kehidupan yang patut dicontoh. Aktivitas mengajar juga menumbuhkan dalam diri manusia suatu perasaan vital bahwa mereka dibutuhkan oleh orang lain, suatu perasaan bahwa diri mereka berarti, yang membuat mereka tidak terlalu asyik dan terbenam dalam diri mereka sendiri. Selama masa kehidupan seseorang banyak pengalaman dan pengetahuan berhasil dikumpulkan, seperti pendidikan, cinta, pekerjaan, filsafat, dan gaya hidup. Semua aspek kehidupan ini harus dipelihara dan dilindungi, sebab semua itu merupakan pengalaman-pengalaman yang berharga. Pengalaman-pengalam ini dipelihara dengan cara diteruskan dan diberikan kepada orang lain.
            “Pemeliharaan adalah kepedulian yang semakin luas terhadap apa yang telah dihasilkan oleh cinta, karena dipandang perlu, atau semata-mata karena kebetulan; pemeliharaan mengatasi ambivalensi yang melekat pada rasa berkewajiban yang tak dapat diubah. (1964, hal. 131).”
            Ritualisasi dari tahap ini ialah sesuatu yang generasional, yakni ritualisasi peranan orang tua, produksi, pengajaran, penyembuhan dst, peranan-peranan dengan mana orang dewasa bertindak sebagai penerus nilai-nilai ideal pada kaum muda.
            Penyimpangan-penyimpangan dari ritualisasi generasional tercermin dalam ritualisme autoritisme. Autoritisme adalah pencaplokan atau perongrongan kekuasaan yang bertentangan dengan pemeliharaan.
Integritas vs Keputusasaan
            Tahap terakhir dalam proses epigenetis perkembangan disebut integritas. Integritas paling tepat dilukiskan sebagai suatu keadaan yang dicapai seseorang setelah memelihara benda-benda dan orang-orang, produk-produk, dan ide-ide, dan setelah berhasil menyesuaikan diri dengan keberhasilan dan kegagalan dalam hidup. Lewat prestasi-prestasi semacam itu individu dapat menikmati keuntungan dari ketujuh tahap kehidupan yang pertama, dan merasa bahwa kehidupan mereka memiliki sejenis susunan dan makna dalam suatu susunan yang lebih besar. Meskipun orang yang telah mencapai suatu keadaan integritas menyadari berbagai gaya hidup orang lain, namun dengan bangga ia memelihara gaya hidupnya sendiri dan mempertahankannya dari berbagai potensi ancaman. Dengan demikian gaya hidup dan integritas kebudayaan menjadi  “warisan jiwa”.
            Lawan integritas adalah keputusasaan tertentu menghadapi perubahan siklus kehidupan individu terhadap kondisi sosial dan historis, belum lagi kefanaan hidup dihadapan kematian. Ini dapat memperburuk perasaan bahwa kehidupan ini tak berarti, bahwa ajal sudah dekat- ketakutan akan dan bahkan keinginan untuk mati. Sekarang waktunya sudah terlalu singkat untuk berbalik dan mencoba gaya hidup yang lain.
            Kebijaksanaan adalah nilai yang berkembang dari hasil pertemuan antara integritas dan keputusasaan dalam tahap kehidupan yang terakhir ini. Kegiatan fisik dan mental dalam kehidupan sehari-hari menjadi lamban pada tahap terakhir dalam siklus kehidupan ini. Kebijaksanaan yang sederhana menjaga dan memberikan integritas pada pengalaman-pengalaman yang terkumpul dari tahun-tahun silam. “Maka, kebijaksanaan merupakan keprihatinan objektif terhadap kehidupan itu sendiri, dihadapan kematian itu sendiri.” (1964, hal. 133).
            Bahwa orang-orang yang sudah uzur kurang mampu beradaptasi dengan situasi yang berubah tidak menghalangi sejenis kejenakaan dan keingintahuan tertentu yang memungkinkan pembulatan pengalaman, sebagaimana diperoleh dari pengetahuan dan penilaian selama bertahun-tahun. Mereka yang berada pada tahap kebijaksanaan dapat menyajikan kepada generasi yang lebih muda suatu gaya hidup yang bercirikan suatu perasaan tentang keutuhan dan keparipurnaan. Perasaan tentang keutuhan ini dapat meniadakan perasaan putus asa dan muak, serta perasaan selesai atau habis manakala situasi kehidupan ini berlalu. Perasaan tentang keutuhan juga akan mengurangi perasaan tak berdaya dan ketergantungan yang biasa menandai akhir kehidupan.
            Ritualisasi usia lanjut dapat disebut integral; ini tercermin dalam kebijaksanaan dalam segala zaman. Sebagai ritualisme yang padanannya, Erikson mengusulkan sapientisme: “kedunguan dengan berpura-pura bijaksana”
Haruskah setiap orang melewati semua pentahapan ini?
Kadang kita mendengar bahwa jika tidak mencapai ukuran keberhasilan salah satu pentahapan Erikson, kita tidak bisa beranjak ke tahap berikutnya. Ini keliru. Di dalam teori Erikson, jika hidupnya cukup lama, orang harus melewati semua tahapan ini. Alasannya adalah kekuatan yang mendorong kita melangkah maju dari tahap ke tahap sangat besar untuk bisa ditahan: pendewasaan biologis dan ekspektasi sosial. Kekuatan ini terus mendorong kita berjalan menurut jumlah waktu tertentu, tak peduli kita sudah berhasil di tahap sebelumnya atau tidak.
            Jadi apabila seorang anak laki-laki belum tuntas menguasai seluruh ras kegigihan di tahap industri (tahap keempat), maka ketika usianya genap mencapai masa pubertas (tahap kelima), dia tetap harus bergulat dengan masalah identitas di tahap baru ini meskipun belum siap menghadapinya.perubahan-perubahan biologis membuat dia menemukan dirinya bermasalah dengan perasaan-perasaan seksual yang mencuat dari perubahan tubuh yang sangat cepat. Pada waktu yang bersamaan, tekanan-tekanan sosial turut memaksanya mengatasi masalah kencan dan memikirkan pekerjaan apa yang akan diambilnya di masa depan. Di lain pihak, kondisi anak ini sedikit mengganggu masyarakat karena ternyata dia masih merasa tidak pasti dengan kemampuan-kemampuannya sendiri. Masyarakat memiliki jadwalnya sendiri, dan ketika si anak menginjak usia 20 tahun atau lebih, mereka mulai menekan dia untuk memutuskan sebuah karir. Sementara si anak lagi-lagi menemukan dirinya berkonfrontasi dengan tahapan baru, dan semuanya terjadi secara berurutan.
            Setiap orang kalau begitu harus melewati semua tahapan, entah dia harus berhasil melewati tahap sebelumnya atau tidak. Jadi yang benar menurut Erikson adalah keberhasilan di tahap sebelumnya mempengaruhi peluang  keberhasilan ditahap sebelumnya. Contohnya anak yang dapat mengembangkan pengertian yang teguh mengenai rasa percaya kepada pengasuhan dapat merasa cukup kuat untuk meninggalkan mereka dan mengeksplorasi sendiri lingkungannya. Sebaliknya, anak yang kekuranngan rasa percaya ini ─ yang tidak ditinggalkan pengasuhnya ─ kurang begitu sanggup mengembangkan rasa otonomi. (jika dilihat dari sudut pandang yanng berbeda, anak sendirilah sebenarnya yang mengembangkan keseimbangan rasa percaya yang kemudian mendorongnya menjelajahi dunia dengan penuh harapan dan antisipasi, dan secara bersemangat mengetes kekuatan-kekuatan baru dari suatu tindakan yang independen). Dengan kata lain, hasil setiap tahapan mempengaruhi peluang hasil positif di tahap berikutnya. Daya-daya pendewasaan biologis dan program sosial tidak akan pernah berhenti memaksa anak menghadapi masalah-masalah baru di setiap tahapan, tak peduli hasilnya.

Konsepsi Baru tentang Ego
            Sebagaimana tampak dalam pembicaraan sebelumnya tentang tahap-tahap kehidupan yang dikemukakan Erikson, ia telah memberikan pada ego sejumlah kualitas yang jauh melampaui konsepsi psikoanalitik pendahulu tentang ego. Kualitas seperti kepercayaan dan pengharapan, otonomi dan kemauan, kerajinan dan kompetensi, identitas dan kesetiaan, keakraban dan cinta, generativitas dan pemeliharaan, serta integritas, meski diakui sebagai kualitas manusiawi, namun biasanya tidak dibahas dalam literatur psikoanalitik. Kalau toh disinggung, pembicaraan biasanya berupa penelusuran kembali kualitas itu pada sumber-sumber di masa kanak-kanak. Erikson mengejek tekanan yang eksklusif pada apa yang disebutnya originologi atau reduksionisme menurut orang lain.
            Erikson menyatakan bahwa ia menyadari konotasi-konotasi idealistik pada kata-kata, seperti kepercayaan, harapan, kesetiaan, keakraban, integritas, dst. Ia sengaja memilih kata-kata itu karena kata tersebut dalam berbagai bahasa mengkonotasikan nilai-nilai manusiawi universal yang baik dalam kebudayaan-kebudayaan primitif yang kuno maupun dalam kehidupan modern mempertautkan tiga bidang hakiki satu sama lain, yakni siklus kehidupan individu, urutan generasi dan struktur sosial dasar.
            Ia berpendapat bahwa suatu identitas harus berpijak pada tiga aspek kenyataan. Yang pertama adalah aspek faktualitas, yakni universum fakta, data, dan teknik-teknik yang dapat diverifikasikan dengan metode-metode observasi dan tenik-teknik kerja yang sedang berlaku (1974, hal. 33). Kemudian terdapat kesadaran akan kenyataan yang juga disebut universalitas karena ia menggabungkan yang praktis dan komplit ke dalam sejenis visi tentang semesta. Aspek yang ketiga adalah aktualitas, yakni suatu cara baru dalam berhubungan satu sama lai, menggiatkan dan memeperkuatkan satu sama lain demi mencapai tujuan bersama (1974, hal. 33).
           
Daftar Pustaka
Crain, William. 2007. Teori Perkembangan Edisi Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Followers

pengunjung

Seputar Kampus FIP